Fahd Djibrna's Journal

Me-Wahib, Menjadi Kasih bagi Semesta

print this page
send email

Sumber diambil dari website resmi Ahmad Wahib Award.

Dalam rangka mengajak lebih banyak kaum muda untuk ikut serta dalam Sayembara Ahmad Wahib 2012, kami meminta para pemenang dan finalis Sayembara sebelumnya untuk menceritakan kesan-kesannya. Berikut ini wawancara kami dengan Fahd Djibran, penerima Ahmad Wahib Award 2010.

Apa aktivitas dan kesibukan Anda saat ini?
Saat ini saya merupakan peneliti bidang Ekonomi Politik Internasional di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Di samping itu, saya juga menulis dan bergelut di berbagai bentuk kegiatan kreatif. Yang pertama saya sebutkan adalah pekerjaan saya, yang kedua adalah karir saya. Saya percaya petuah Steve Jobs, your job is not your career. Meskipun saya mencintai pekerjaan saya, karena saya mencintai dunia ilmu pengetahuan, tetapi passion saya ada di dunia kreatif. Saya senang bereksplorasi dengan berbagai bentuk kreativitas, terutama menulis. Sejauh ini saya sudah menulis beberapa buku, kebanyakan fiksi. Belakangan saya sedang bereksplorasi dan memperkenalkan bentuk fiksi audio-video (fiksi auvi) bersama dua orang teman, musisi dan seniman visual, kami berkolaborasi dengan nama Revolvere Project. Kadang-kadang saya juga jadi pembicara seminar atau workshop di dalam maupun luar negeri, terutama bidang kreatif dan pengembangan komunitas. Sisanya, saya sibuk belajar menjadi suami dan ayah yang baik—setelah terus belajar membaca dan menulis, tentu saja. :)

Apakah pemikiran Ahmad Wahib masih relevan hari ini, jika ya, apa relevansi utamanya?
Tentu masih relevan, terutama pemikiran Wahib tentang ‘perbedaan’ sekaligus bagaimana menyikapinya. Kita bisa berdebat mengenai berbagai tafsir tentang pemikiran Wahib; misalnya bagaimana sebenarnya konsep Wahib tentang pluralisme, bagaimana pandangan Wahib tentang toleransi, bagaimana Wahib memahami memposisikan kebenaran yang ia yakini? Tapi apa yang dipikirkan Wahib tentang kenyataan keberbedaan dan keniscayaan kita berada di tengah-tengah situasi itu, tak bisa kita tolak. Barangkali, apa yang dipikirkan Wahib bukan sesuatu yang sama sekali baru, toh tidak ada yang sama sekali baru di bawah matahari—nihil sub sole novum. Tetapi Wahib berani menawarkan tafsirnya sendiri tentang kenyataan yang ia hadapi—bagaimana ia secara berani dan konsisten bersikap berdasarkan apa yang ia pahami dan yakini, sekaligus menawarkan formulanya sendiri bagaimana menjadi diri yang tidak arogan memeluk kebenaran yang diyakini, dalam upaya menjadi kasih bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin), dan memandang perjalanan menemukan Kebenaran (dengan K besar) sebagai sesuatu yang terus-menerus belum selesai (membelum). Sikap itu yang penting di miliki setiap kita saat ini.

Apa yang masih membekas dari Ahmad Wahib dalam pikiran Anda saat ini?
Sikap membelum. Wahib tak pernah menganggap perjalanannya menemukan kebenaran sebagai sesuatu yang final dan selesai. Wahib tak pernah mengklaim kebenaran yang ia yakini sebagai sesuatu yang Mutlak. Wahib selalu ingin memposisikan dirinya sebagai pejalan atau pencari kebenarannya untuk menuju yang menurutnya Maha Mutlak—yang tak terjangkau tetapi harus terus-menerus didekati. Perjalanan itu sebetulnya bukan keluar, tetapi kedalam: memasuki dirinya sendiri yang tak kunjung ditemukan. Me-Wahib, begitu katanya. Saya memahaminya sebagai upaya ‘transfigurasi’, dengan berusaha menemukan dirinya sendiri justru Wahib telah melampaui dirinya sendiri (beyond himself). Wahib sebagai individu tidak pernah selesai, itu sebabnya meskipun Wahib seudah meninggal puluhan tahun lalu… apapun tentang Wahib selalu bisa kita lanjutkan.

Apa yang Anda lakukan di tengah kesibukan Anda untuk menyebarkan semangat/pikiran Ahmad Wahib?
Menjadi diri saya sendiri. Menemukan kebenaran dan formula saya sendiri untuk hidup di mana saat ini saya berdiri. Bagi saya, itu yang diajarkan Wahib tentang me-Wahib. Setelah memahami Wahib, terus terang, saya melupakan sosoknya. Saya melupakan sosok Wahib yang Madura, aktivis, wartawan, dan penulis buku harian. Yang saya lakukan adalah menyerap pemikiran Wahib dan merefleksikannya dengan pemikiran dan kenyataan saya sendiri—di mana dan kapan saya hidup. Saya yakin Wahib akan kecewa jika kita hanya menyebarkan ‘kutipan buku hariannya’, memperkenalkan fotonya, mencetak buku hariannya, menjadikannya topik diskusi dan seminar, tetapi gagal menjadi diri sendiri dan gagal menjadi kasih bagi semesta yang tak berusaha arogan dengan kebenaran dan nilai yang diyakini. Bagi saya, seraplah pemikiran Wahib, pahami betul, selanjutnya jadilah diri sendiri dengan medan perjuangan kita sendiri. Jika Wahib menulis, mungkin kita bisa bermusik, membuat film, atau menjadi apapun. Nilai yang yang penting, bukan casing-nya.

Strategi apa yang sebaiknya kami lakukan untuk mengampanyekan semangat/pikiran Ahmad Wahib?
Refleksikan pemikiran Wahib ke dalam berbagai bentuk karya dan media, dengan atau tanpa menyebutkan Wahib sebagai individu. Bagi saya, Wahib adalah inspirasi, ia tak perlu tampil: Wahib adalah semangat yang harus terus ada dan terefleksi dalam berbagai bentuk karya, kegiatan, media, atau apapun. Wahib adalah pembaharu, tapi barangkali Wahib memang sudah selesai dengan tugasnya menginspirasi dan mendobrak pintu agar terbuka bagi kita semua, tugas kita adalah memasuki diri kita masing-masing lalu bergerak menuju semangat pembaruan yang lain, menjadi inspirasi bagi generasi setelah kita kelak.[]

1 comments:

  1. saya juga mengikuti sayembara essainya secara iseng2 pak,
    itung-itung banyak proses yang terjadi ketika mengikuti sayembara ini tanpa sadar. Membaca, berpikir, sabar, meneima kritik, lapang dada dsb.hehe (curhat.com)
    Terima kasih pak guru atas semuanya

    ReplyDelete