Hueekkkk…
Semua yang kutelan tadi menyembur semua. Aneka warna. Tak perlu pula kudeskripsikan apa saja yang sudah kumakan tadi siang. Cukup aku saja yang menatap nanar sembari mengatur napas dan mengeluarkan yang tersisa. Jika masih ada.
Mataku berair. Ada satu kelesat tak menyenangkan di setiap lendir, lalu aku lontarkan kembali ke mulut jamban. Tak perlu pula aku jabarkan lagi apa yang keluar tadi siang.
Aku heran. Tubuh ini, akhir-akhir ini, tak lagi bisa diprediksi iramanya. Apa yang dikecap lidah terasa pahit. Apa yang masuk ke perut keluar kembali tak lama kemudian. Ada apa ini? Dua minggu makan tak teratur, kadang tanpa tidur, membuat potensi penyakit singgah sungguh tak terukur.
Ini pula yang terjadi. Tadi. Saat aku sedang membaca “Yang Galau, Yang Meracau!” bagian pertama halaman duapuluhtiga yang kebetulan pula menorehkan kalimat “ada mual yang mendesak perutku” saat itu pula aku berlari sembari memegang mulutku yang terasa penuh. Tampaknya, kalimat itu jadi penyebab lambungku berkontraksi. Mungkin juga tidak. Tapi tak perlu pulalah berulang-ulang kuceritakan apa yang kukeluarkan tadi siang.
Ya, tadi siang aku membeli beberapa buku di Kota Karbon book fair yang entah kapan bisa ada di Kota Tercinta. Itu buku Fahd Djibran yang kini masih kubaca. Ada Sebelas Patriot Andrea Hirata. Lalu tiga buku sejarah tentang “pemberontakan” M. Natsir, tentang pertumbuhan koran di Sumatera Westkust dan satu buku dari Frances Gouda yang mengatakan Indonesia merdeka karena Amerika. Itu buku yang akan menyusul untuk dibaca.
Beberapa saat sebelumnya, ketika aku tengah menunggu bus ke arah Senayan, seorang bocah berbaju kumal menepuk pundakku. Ia sepertinya berumur sekitar sepuluh atau duabelas tahun. Kurang lebih. Ia menatapku dengan sorot mata menghiba. Ia lalu menaikkan tangan kanannya sembari membalikkan telapak tangan sehingga aku bisa melihat tak ada apapun di tangannya.
“Kak, boleh minta empatribu ga? Aku lapar. Belum makan dari tadi.”
Aku mengurungkan niatku untuk naik bis. Aku teringat nazarku beberapa waktu lalu. “Tunggu sebentar ya,” aku melihat sekitar. Tak ada warung makan.
Bocah itu menelisikku dengan seksama. Tangannya sudah tak terangkat. “Aku lapar, Kak.”
Bocah itu mengulang lagi perkataannya. “Oke, kamu sini. Ikut aku,” aku menggenggam tangannya lalu membawanya ke satu titik. Aku melihat ada orang menjual ketoprak pas di pangkalan taksi yang argonya tertulis tarif lama.
Bocah itu malah melepaskan tanganku dengan kencang.
“Kenapa? Kamu lapar ‘kan? Sini aku beliin ketoprak.”
Bocah itu menggeleng. “Uangnya saja Kak.”
Aku terdiam. Tadi dia kelaparan kenapa sekarang sudah kenyang saja?
“Aku uangnya saja, ‘Kak. Sudah kenyang.”
Aku tak tahu apakah ia menolak tawaranku karena tak mau bohong suka ketoprak, atau dia memang jujur lebih memilih uangnya daripada makanannya. Aku melihat ke matanya. Bocah itu mulai salah tingkah. “Aku ga akan kasih kamu uang. Tapi kalau kamu mau makan, aku beliin itu ketoprak.” Entah kenapa, nada yang keluar dari mulutku seakan terdengar mengancam.
“Uang saja, ‘Kak.” Bocah itu bertahan.
“Sekali lagi aku tawarkan, atau tidak sama sekali. Aku ga suka dibohongi, kamu bilang tadi lapar, aku kasih makan kamu malah menolak. Mau atau tidak?” aku kembali memastikan sembari melihat Kopaja yang mendekat.
Bocah itu menggeleng.
“Ya sudah. Aku ga akan kasih kamu uang.” Aku pun naik ke dalam Kopaja sambil memandangi bocah itu yang terdiam di pinggir trotoar entah sedang memikirkan apa.
Itu yang terjadi satu jam sebelum aku membeli “Curhat (Tuan) Setan” itu. Dua jam sebelum aku makan siang dan tiga jam sebelum mual-mual. Empat jam sebelum aku membaca buku itu sepanjang Semanggi-Depok. Lalu catatan ini aku tulis sepuluh jam setelah aku selesai membaca halaman delapanpuluhdelapan.
Entah kenapa, Fahd selalu bisa membuatku merinding membaca tulisannya. Buku itu berbicara—walaupun di beberapa bagian terlihat samar kopiannya dan pengeditan kata-katanya masih belum sempurna—tentang kegalauanku. Tentang apa yang selama ini sibuk berkelindan di kepala. Ini buku berbahaya! Tidak untuk dibaca oleh segelintir orang. Buku ini harus dibaca banyak orang. Buku ini berbahaya!
Membaca Fahd, aku seperti membaca Shawni yang menggunjingkan “kegilaan” Tuhan dalam bukunya “The Madness of God”. Aku seperti membaca gulungan doa Rabi’ah al Adawiyah—orang yang ingin menyiram neraka dengan air dari bejana yang ia bawa dan membakar surga dengan obor yang ia bawa supaya tak ada lagi yang beribadah karena takut terkena api neraka dan hanya beribadah untuk mendapat hadiah surga. Ia berbicara tentang Hannah Arendt—orang yang mengatakan tentang banality of evil. Ia juga menyinggung Soren Kierkegaard. Aku seperti membaca Julia Kristeva yang berbicara tentang dunia abjeksi—dunia yang terisi dengan ambiguitas moral—dunia yang penuh kebohongan. Entah mungkin ia akan menyinggung Friedrich Nietzsche sehabis ini sembari membawa obor di siang hari dan berteriak lantang: “Tuhan telah mati! Tuhan telah mati! Kita yang membunuhnya!”
Entahlah. Aku belum selesai membacanya. Aku baru sampai halaman delapanpuluhdelapan. Tapi ada satu bagian yang terus membuat pikiranku berpetualan menembus waktu—seakan ingin mengulang kembali. Rewind. Bagian itu tentang “Al-Quran yang dibakar!”. Aku merenung lama di sini. Ada kebenaran di sana. Lagi-lagi, ada virus ihsan di sana. “Kita yang membakarnya. Kita yang membakar Al-Quran. Kitalah yang menelantarkannya!” Mungkin begitu ucap Nietzsche jika hari ini masih hidup.
Ah, begitulah Fahd. Aku kembali teringat bocah tadi siang.
Aku kembali teringat nazarku menjelang ujian pra-tesis.
Aku jadi berpikir, kenapa untuk sebuah kebaikan, kita harus menunggu setiap keinginan untuk lebih tercapai baru melaksanakan apa yang selama ini dinazarkan. Jika keinginan tak tercapai maka nazar batal. Bukankah Epikurus pernah mengatakan, “berhati-hatilah dengan apa yang kau inginkan hari ini, karena bukankah apa yang telah kau dapatkan selama ini adalah bagian dari keinginanmu terdahulu.” Jadi, lakukanlah kebaikan itu. Jangan tunda-tunda kebaikan. Lakukan saja. Lihat apa yang terjadi. Itu kalimat yang sepertinya buku itu lontarkan ke mukaku.
Aku berhenti di halaman delapanpuluhdelapan.
Selepas magrib, aku pun keluar hendak mencari makan. Di tengah jalan aku berpapasan dengan seorang tua renta yang berjalan tertatih memapah tubuh ringkihnya. Tongkat yang menopang tangannya menjadi kaki ketiga baginya. Ia berhenti di setiap toko sembari mengatakan “lapar”.
Aku melihat sekilas ke arah perempuan renta itu. Ia balas menatapku. Belum sempat ia menengadahkan tangannya aku sudah berlari terlebih dahulu. Lihat, Fahd, aku akan melaksanakan kebaikan itu. Aku tak mau kejadian tadi siang berulang seperti pada bocah itu. Aku tak mau kalah lagi. Aku harus berhasil kali ini. Aku berlari ke arah penjual somay terenak di sepanjang Margonda. Aku belikan sebungkus.
Perempuan renta itu berjalan terseok. Ia masih menyempatkan menyinggahi toko-toko, dan mengatakan hal serupa. Aku meminta si penjual agak bergegas membungkus itu somay, karena hujan mulai rintik. Setelah membayar aku berlari ke arah perempuan itu.
“Aku tahu nenek lapar. Ini aku kasih somay buat nenek, dimakan ya,” ujarku. Plong rasanya. Seperti inikah rasa senangnya melakukan kebaikan itu?
Tapi, ada yang aneh di tatapan nenek itu. Ia tak mengucapkan terima kasih. Ia bahkan tak mau memegang plastik berisi somay itu. Ia malah membuka tasnya. “Nenek sudah kenyang.”
“Tapi, tadi…” aku mulai bingung. “Ya, sudah nenek bawa saja untuk anak cucu nenek,” sambil berusaha memasukkan sebungkus somay ke dalam tasnya yang sempit.
“Nenek tinggal sendiri. Ga ada yang akan makan somay ini. Uangnya saja.”
Aku mulai merasa aneh, bukan pada si nenek, tapi pada tubuhku. Aku mulai mual. Aku mulai menggesakan tanganku memasukkan somay ke tas si nenek. Sempit. Aku harus menggeser beberapa benda. Aku terbelalak melihat isi tas si nenek. Aku tertawa. Aku menatap si nenek itu tak percaya. Ragam pertanyaan berkelindan.
Tiba-tiba ada sesuatu yang melesak dari lambungku. Aku memegang kembali mulutku. Aku permisi. Aku mencari-cari tempat di mana aku bisa menenangkan perutku.
Si nenek itu berjalan pelan. Ke arah tukang somay. Aku sudah tak tahan. Aku bekap mulutku. Aku lalu berlari ke kamarku tak mengindahkan si nenek yang kembali menengadahkan tangannya sembari berkata “lapar” ke orang yang sedang makan somay.
Tak perlu pulalah kucerita apa saja yang tercampak di atas keramik tadi.[]
Depok, 5 Juli 2011
*Terima kasih, Fahd. Aku belajar banyak hari ini.
Sumber dari sini.
0 comments:
Post a Comment