Fahd Djibrna's Journal

Salah Satu Bagian dalam Novel MPM

print this page
send email

Seperti tak pernah ada keputusan yang sempurna, Azalea,
tak pernah ada surat yang sempurna.


5

Jadi, kemana saja aku selama ini?


Kemana saja aku selama ini? Aku juga tak bisa menjawabnya dengan pasti, Azalea. Aku mengunjungi terlalu banyak tempat, menemui terlalu banyak orang—hingga aku tak bisa benar-benar mengingat semuanya satu per satu. Aku bertanya-tanya dan berkelana mencari jawaban dari apa yang selama ini kupertanyakan. Ada sesuatu yang dua tahun belakangan ini membuatku resah, bahagia, sedih, galau, gundah… Ah, barangkali yang benar adalah gabungan dari perasaan-persaan itu, sesuatu yang tak pernah benar-benar sanggup aku jelaskan dengan kata-kata biasa. Kau harus mengalaminya sendiri untuk bisa memahaminya. Saat seluruh perasaan bercampur jadi satu dan menghentakkan sebuah sensasi tak terduga pada liang terdalam kesadaran kita.

Tentang perasaan itu, jika kau terus membaca surat ini, kelak kau akan tahu gerangan apakah yang membuatku terus-menerus merasa demikian. Aku harap kau akan membaca surat ini, kemudian biarkan ia membaca matamu.

Azalea, apakah kau bersedia membaca ceritaku?


6

Cerita ini dimulai tanggal 29 Maret 2008, tepat seminggu setelah hari ulang tahunku, dan belum berakhir... Semua yang akan kau baca adalah apa yang bisa kuceritakan kepadamu hingga bulan-bulan belakangan ini. Aku berusaha menceritakan semua yang perlu kau tahu—dan semua yang ingin kuceritakan padamu.


7

Azalea, apakah kau pernah mendengar cerita tentang Muhammad?

Ya, Muhammad yang kumaksud adalah seorang Nabi dalam agama Islam. Muhammad Rasulullah atau Muhammad bin Abdullah (570-632 M), begitu orang-orang mengenalnya. Sebagian lain, karena begitu menghormatinya, menyebutnya Sayyidinâ Muhammad. Sayyid, adalah sebutan bagi seorang bangsawan Arab, dan sayyidinâ berarti tuan kami atau junjungan kami. Bahkan, setelah menyebut namanya, orang-orang Muslim membacakan sebuah doa pendek untuknya: sallallâhu alaihi wasallam—semoga doa dan keselamatan selalu terhubung kepada Muhammad.

Azalea, tidak begitu mengherankan mengapa ia begitu dihormati dan diagungkan di kalangan masyarakat Muslim. Seperti yang kita lakukan pada orang-orang yang kita hormati dalam agama kita, selain karena dia seorang Nabi, tentu saja ada alasan atau kisah hidupnya yang begitu baik sehingga semua orang tak mungkin melupakannya. Tapi, aku juga tak begitu tahu. Aku tak mengenalnya, baik sebagai seorang manusia biasa apalagi sebagai seorang Nabi.

Sejujurnya, sebelum semua ini terjadi, aku juga tak mengenal siapa Muhammad. Aku hanya mengetahuinya sebagai Nabi terakhir yang diyakini orang Islam. Barangkali aku memang sering mendengar nama itu, Muhammad; sebab di negara dengan mayoritas penduduk Muslim seperti di negara kita, nama Muhammad tentu saja merupakan nama yang populer. Sebagai seorang Nabi, sekilas aku pernah mendengarnya dalam sebuah nyanyian atau syair lagu di televisi—atau ketika teman-teman kita yang Muslim menceritakan sedikit tentang keagungan sikap dan budi pekertinya.

Azalea, percayakah kau kalau seseorang yang tak pernah aku kenal ini tiba-tiba menjumpaiku dalam mimpi? Percayakah kalau kukatakan padamu bahwa Muhammad menemuiku—ya, aku—dalam sebuah mimpi?


8

Suatu malam, tiba-tiba aku terbangun dengan dada yang berdebar—dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Keningku berkeringat, napasku turun naik. Aku tidak sedang terbangun setelah mendapati sebuah mimpi buruk, Azalea. Aku menjumpai seseorang dalam sebuah mimpi yang begitu indah, itulah yang membuat dadaku berdebar. Ada perasaan tak rela ketika dalam mimpi itu, seseorang yang kutemui di sana, mengucapkan salam perpisahan dan pergi meninggalkanku.

Orang itu, lelaki yang tampak begitu agung dan bercahaya, entah mengapa tiba-tiba kukenali sebagai sosok Muhammad. Ini semacam pengetahuan yang tak bisa kau tolak, sesuatu yang secara otomatis sudah kau ketahui dalam mimpimu. Intuisi, barangkali. Dan dialah Muhammad, lelaki yang kutemui dalam mimpi yang tak pernah sanggup kulupakan.

Apakah kau pernah mengalami mimpi semacam ini, Azalea? Saat tiba-tiba kau tahu siapa seseorang yang kau temui dalam mimpimu padahal sebelumnya kau tak pernah berjumpa dengannya?

Pada mulanya, aku berusaha menolak. Aku tak ingin memercayainya sebagai Muhammad. Barangkali ini hanya mimpi biasa, bunga tidur yang tanpa makna, kataku dalam hati. Aku berusaha melupakan mimpi itu, Azalea. Tetapi, semakin kuat aku berusaha melupakannya, justru setiap detil dari mimpi itu semakin baik kuingat. Aku mengingat suasananya, aku mengingat sosoknya, aku mengingat kata-kata yang ia sampaikan—aku mengingat semuanya.

“Apakah yang lebih besar daripada iman?” kata sosok Muhammad dalam mimpiku. Ia tersenyum menatapku, tetapi entah bagaimana aku tahu sesungguhnya ia sedang agak bersedih.

“Aku tak tahu,” kataku. Tenggorokanku terasa sangat kering. Terik matahari menyengat—aku berada di sebuah tempat yang kering dan tandus. Bukan padang pasir, tapi sebuah tempat yang belum pernah kulihat dan kuketahui sebelumnya.

Tiba-tiba, aku ingin melihat sosok itu… dan ia tersenyum tulus ke arahku. Aku melihat seorang lelaki dengan wajah yang agung dan bercahaya. Ini semacam cahaya aneh yang justru tak membuatku merasa silau—tapi teduh. Kulitnya bersih, badannya tidak kurus juga tidak gemuk, wajahnya tampan, bola matanya hitam jernih, bulu matanya lentik, alis matanya panjang bertautan.

Sekali lagi ia tersenyum. Senyum yang sanggup membuatku melupakan rasa haus dan panas yang membakar kulitku. “Apakah yang lebih utama dan lebih penting daripada iman?” katanya seperti mengulang pertanyaan pertamanya.

“Aku tak tahu,” aku menjawabnya dengan kata-kata yang sama.

Lalu ia memberiku minuman. Ia seolah tahu bahwa tenggerokonku terasa menyempit, haus yang hampir membakar rongga mulutku. Ia menyodorkan sebuah cawan berisi air yang dingin dan jernih… “Minumlah,” katanya, “kau sangat membutuhkannya.” Lagi-lagi, ia tersenyum.

Aku pun segera meminumnya. Ada dingin yang mengalir di tenggorokanku, mengalir menjadi damai di hatiku, membebaskan sel-sel hidupku yang sempit. Aku merasakan air itu mulai menghidupkan lagi sel-sel yang mulai mati di tubuhku—aku merasakan kesegaran yang membebaskan, sesuatu yang membuat matahati dan pikiranku begitu terbuka. Lalu langit meredup-teduh, awan diarak pelan-pelan, angin menerbangkan helai-helai daun yang kering, rumput-rumput bersemi, bunga-bunga mekar—wewangian yang membebaskan segala bentuk penderitaan.

Lalu kutatap lagi sosok lelaki yang tampak agung itu: Muhammad. “Kebaikan,” katanya tiba-tiba, “melebihi apapun, adalah yang paling utama dari semuanya. Aku menyebutnya ihsan.“

Seketika, langit hening, bumi hening. Dan lelaki itu melemparkan senyumnya sekali lagi, lalu membalikkan tubuhnya setelah mengucapkan sebuah salam perpisahan. Pelan-pelan, ia melangkah pergi, menjauh meninggalkanku.

Apakah yang lebih besar daripada iman? Bisik hatiku. Apakah yang lebih utama dan lebih penting daripada iman? Aku menatap punggung Muhammad yang menjauh… terus menjauh. Kebaikan? Barangkali inilah kebaikan, kataku dalam hati, budi pekerti yang dimiliki seseorang yang membuatmu merasakan kebahagiaan yang membebaskan dan kau takkan pernah rela ditinggal pergi olehnya.

Entah mengapa ada perasaan sedih yang teramat dalam saat ia meninggalkanku di tempat itu sendirian. Aku benar-benar tak rela melepasnya pergi… aku menatap punggungnya dan memanggilnya kembali dengan mata rinduku, tetapi ia terus menjauh… menjelma sunyi, meninggalkanku.

Aku terbangun dengan dada yang berdebar, dengan perasaan yang begitu sedih. Muhammad, Muhammad, Muhammad, aku mengulang-ulang nama itu. Mengapa aku bisa memimpikannya?

Azalea, bila aku menganggapnya bukan sebuah mimpi biasa, barangkali aku memang berlebihan. Pada mulanya aku juga berpikir begitu. Tetapi, aku tak bisa membohongi perasaanku sendiri.


::::::::::::::::::

Temukan kelanjutan kisahnya dalam Menatap Punggung Muhammad (2010) karya Fahd Djibran. Buku ini sedang proses pemerataan distribusi ke seluruh kota di Indonesia. Sudah tersedia di toko-toko buku khususnya di Jabodetabek. Jika Anda ingin memesannya, Anda bisa melakukan pemesanan melalui kurniaesa.order@gmail.com UP Mbak Nita/Kenny. Cukup dengan Rp. 35.000, harga yang tak seberapa dibandingkan sensasi cinta yang akan Anda rasakan setelah membaca buku ini. :)

Bagi yang belum lihat video book trailernya, bisa klik di sini. Anda juga bisa berbagi link-nya pada teman atau sahabat melalui Facebook atau Twitter: http://www.youtube.com/watch?v=94X7wFVaAKY&feature=player_embedded

0 comments:

Post a Comment