Fahd Djibrna's Journal

Selamat Hari Ibu!

print this page
send email
Dear All,

Sebagai hadiah istimewa di hari ibu, saya akan membagikan 1 bab (brief version) khusus tentang Ibu dalam novel ”Rahim: Sebuah Dongeng Kehidupan” (Goodfaith Production, 2010). Bab ini cukup panjang, bacalah pelan-pelan dan penuh perhatian. Maka kalian akan tahu mengapa ”Rahim” menjadi novel yang bukan hanya berisi cerita melankolis tentang perempuan. Ia lebih dimaksudkan sebagai ”kabar” atau ”pengingat”, bagi mereka yang pernah hidup di Alam Rahim tetapi secara sempurna melupakannya; kita semua.

Selamat membaca. Selamat hari ibu bagi perempuan-perempuan mulia di sekeliling kita. Terakhir, terima kasih buat Mbak Grass Root yang sudah berbaik hati meminjamkan fotonya sebagai gambar ilustrasi di postingan saya kali ini. :)

Salam
,

Fahd Djibran


:::::::::


I B U


Inilah salah satu alasan terpenting mengapa Pengabar Berita dari Alam Rahim sepertiku ditugaskan ke Alam Dunia. Inilah salah satu alasan terpenting mengapa mesti ada tim elit Satuan Tugas Pengembalian Kepercayaan dan Sakralitas Alam Rahim. Salah satu alasan penting itu adalah para ibu; para perempuan pemilik rahim, tempat di mana Alam Rahim mungkin berjalan sebagaimana mestinya.

Kau tahu, belakangan banyak sekali anak-anak yang tak menghargai ibunya. Anak-anak yang tak menyayangi ibunya. Anak-anak yang sama sekali lupa bahwa mereka pernah meminjam setengah nyawa ibunya ketika hidup selama sembilan bulan di dalam kandungan ibunya.

Entah virus apa yang menyerang pikiran mereka, mematikan perasaan mereka. Saat mereka beranjak dewasa dan memiliki kehidupannya sendiri secara penuh, mereka seperti melupakan semuanya; bahwa ibulah yang membantu mereka sampai ke Alam Dunia, bahwa ibulah yang merelakan tubuhnya kau tumpangi selama kurang lebih sembilan bulan sebelum kau dilahirkan, bahwa ibulah yang mempertaruhkan nyawanya ketika kau harus datang ke Alam Dunia.

Ah, entah virus apa yang menyerang pikiran mereka, mematikan perasaan mereka. Anak-anak itu, saat mereka tumbuh dewasa dan memiliki kehidupannya sendiri secara penuh, mereka berani membentak ibu mereka dengan kemarahan yang menyakitkan. Bahkan lebih dari itu, mereka memukul atau melakukan hal lain yang tidak pantas hingga membuat para ibu menangis dengan bibir yang menggigil—dengan hati yang perih terluka.

Asal kau tahu, anak-anak semacam itu adalah anak-anak yang setiap hari dikutuk di Alam Rahim. Seluruh Kerajaan Alam Rahim mendoakan mereka agar segala hal yang buruk menimpa dan segala hal yang baik dijauhkan darinya. Lebih dari itu, Kerajaan Alam Rahim bahkan memiliki sebuah kuil khusus yang menampung air mata dan kesedihan para ibu yang dilukai anak-anaknya… Namanya, Kuil Kesedihan Alam Rahim.

Kalau Ibumu menangis karenamu, dan air matanya menetes sampai ke Kuil Kesedihan Alam Rahim, sebagian malaikat menyelinap pada butiran-butiran air matanya. Lalu butiran-butiran air mata itu akan menjadi kristal cahaya yang membuat sebagian malaikat yang lain merasa silau dan marah kepadamu. Dan kemarahan para malaikat adalah kemarahan yang suci, sehingga Raja Semesta tidak melarang mereka tatkala menutup segala pintu kebaikan untukmu. Bahkan bila kemarahan mereka sampai pada puncaknya, kau akan menjadi seseorang yang sangat menderita di Alam Dunia dan di Alam-alam berikutnya yang akan kau jalani. Bahkan, pintu surga tertutup selamanya bagimu!

Itulah sebabnya, di Kuil Kesedihan Alam Rahim hanya ada satu hukum yang berlaku: jangan pernah membuat Ibumu sakit hati dan menangis karenamu, kecuali kau punya cukup keberanian untuk membuat Raja Semesta naik pitam dan murka pada seluruh hidupmu.

Ibumu adalah ibunda seluruh Kerajaan Alam Rahim. Maka ketika ada seorang anak yang durhaka pada ibunya, mungkin saja ibunya memang rela dan memaafkan kesalahannya. Tetapi tidak bagi para penghuni Kerajaan Alam Rahim. Karena meskipun Ibumu akan senantiasa memaafkanmu, tetapi setiap pemaafannya atas kesalahanmu akan digenggam erat-erat oleh para penghuni Kerajaan Alam Rahim untuk kelak mereka usulkan pada Raja Semesta agar menjadi suluh nerakamu. Sebab, Ibumu adalah ibunda seluruh Kerajaan Alam Rahim. Bila kau menyakitinya, berarti kau melukai perasaan seluruh penghuni Kerajaan Alam Rahim—tanpa kecuali.

Betapa tidak, mereka menyaksikan semuanya; saat pertama kali kau masih menjadi embrio, menjadi janin, menjadi seorang bayi yang melakukan segalanya di rahim Ibumu; kau bergerak kesana-kemari di rahim suci Ibumu, meminum cairan dari air ketubannya, menendang dan memukul dinding rahimnya dari dalam, membuatnya kesakitan dan kadang-kadang harus terjaga tiba-tiba ketika ia sedang tertidur. Ia mengorbankan hampir segalanya untukmu, bahkan nyawanya, agar kau, anaknya yang sangat ia cintai, bisa tumbuh sempurna menjadi bayi yang sehat dan terpenuhi segala kebutuhannya.

Maka, apabila suatu hari saat kau sudah besar kau berani menyakitinya dan membuatnya menangis sedih karenamu, betapa sedih seluruh penghuni Kerajaan Alam Rahim yang selama ini menyaksikan pertumbuhanmu di rahim Ibumu. Betapa terpukul hati mereka. Betapa kecewa. Gerangan virus jahat macam apakah yang merasuki otakmu dan membutakan hatimu?

...

Kau tahu, bila kau diberi kesempatan untuk mengikuti seluruh gerak-gerik Ibumu ketika mengandungmu, melihat seluruh sketsa hidup yang ia jalani bersamamu di perutnya, kuyakinkan kepadamu bahwa ia melakukan segala hal yang terbaik yang ia bisa lakukan untuk menjagamu, merawatmu, memberikan segala yang terbaik untukmu.

Bila sedikit saja ia merasa ada yang salah dengan perkembanganmu di dalam rahimnya, ia akan sangat panik dan gelisah. “Apa kandungan saya baik-baik saja, Dok? Bayi saya tidak kenapa-kenapa kan? Apa yang harus saya lakukan?” Ya, ia menjadi mudah sekali panik dan gelisah. Ia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu, sekecil apa pun itu.

Lalu, ketika dokter atau seseorang menyarankannya untuk melakukan sesuatu atau memakan sesuatu, misalnya saran untuk melakukan gerakan-gerakan tertentu atau memakan buah-buahan tertentu agar pertumbuhanmu di dalam rahim terjamin kebaikannya dan kelahiranmu kelak menjadi lancar, Ibumu akan sepenuh hati melakukan semuanya—bahkan kadang-kadang, karena begitu bersemangat, segalanya jadi tampak berlebihan.

Tetapi itulah Ibumu, ibunda darah dagingmu. Perempuan yang rela memberikan semua miliknya yang terbaik hanya untukmu. Perempuan yang rela melakukan apa saja dan mengorbankan apa saja untuk segala kebaikanmu.

Bila kau diberi kesempatan untuk mengikuti seluruh gerak-gerik Ibumu ketika mengandungmu, seluruh sikap dan tindakannya, melihat seluruh sketsa hidup yang ia jalani bersamamu di perutnya—kuyakinkan kepadamu bahwa jangankan kau berani menyakitinya atau membuatnya menangis, mengecewakannya pun tak!

Andai kau melihat seluruh sketsa itu dan mengerti…

Pada hari-hari menjelang kelahiranmu, ia akan menjadi sangat sibuk pada banyak hal. Ia meminta Ayahmu, dan anggota keluarga lainnya untuk menyiapkan ini-itu segala keperluan untukmu. Bahkan sejak beberapa bulan sebelumnya, bersama dengan Ayahmu, ia sudah menyiapkan tempat tidurmu yang terbaik, pakaianmu yang paling indah, dan segala keperluan yang kelak mungkin kau perlukan. Segalanya sudah siap bahkan sebelum kau lahir… Ibumu menyiapkan semuanya, melakukan apa pun yang terbaik yang ia bisa untuk menyambut kehadiranmu di dekapannya…

Lalu ketika ia mengalami kontraksi, detik-detik menjelang kelahiranmu, wajahnya nampak pucat diselimuti rasa gelisah dan khawatir. Ada rasa sakit yang mendesak-desak dari dalam perutnya. Rasa sakit yang sekuat tenaga ia tahan hingga keluar semua keringat besarnya. Ia tentu saja menginginkan proses persalinannya berjalan lancar dan baik-baik saja, tetapi ia tetap tak bisa menyembunyikan rasa takutnya. Sedikit saja kesalahan terjadi dalam proses peralihanmu dari Alam Rahim ke Alam Dunia, mungkin ia akan tiada atau ia tak bisa mendekapmu lagi untuk selama-lamanya.

Di atas semua itu, pucat wajahnya sebenarnya dikarenakan rasa sakit yang mendesak-desak dari perutnya. Rasa sakit yang teramat. Sakit seperti ketika jantung diremas dan nyawa akan dicabut. Sakit hingga ke ubun-ubun kepala. Kau sudah mendesak-desak ingin keluar. Dan rasa sakit itu benar-benar tak tertanggungkan.

Maka ketika ia disandarkan di sebuah pembaringan khusus di Rumah Sakit, ketika dokter memintanya untuk menarik napas dalam-dalam, melepaskannya, mendorong dan mengejan, ia benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa takut dan kekawatirannya tentang keselamatanmu. Dalam jerit pita suaranya yang terjepit, air matanya meleleh menerjuni tebing pipinya, ia memang kelelahan dan kesakitan luar biasa, tetapi apa pun akan ia lakukan untuk segala kebaikanmu—agar kau bisa lahir dengan selamat dan sempurna.

Dan ketika kelak kau lahir dan mempersembahkan tangisan pertamamu… Ibumu benar-benar tak bisa menahan banjir air matanya. Dalam wajah yang nampak kelelahan luar biasa setelah menahan mahasakit yang begitu nyeri hingga ke ulu hati, ia menatapmu penuh kasih dan tersenyum penuh kebahagiaan. “Anakku,” katanya dalam hati, “Terima kasih sudah memberiku perjalanan dan pengalaman yang mengubah hidupku, hidup kita berdua. Kini aku telah menjadi seorang ibu, dan kaulah anakku yang sangat kucintai—sepenuh hidupku.” Saat kau tiba, kalian berdua tak lagi menjadi manusia yang sama. Dialah Ibumu, ibunda darah dagingmu, dan kaulah kecintaannya yang paling ia tunggu.

Lalu saat kau diserahkan pada pelukan Ibumu, kau yang menangis keras karena merasa kehilangan sesuatu, merasakan lagi getar itu, detak itu, kehangatan itu, yang selama sembilan bulan hidupmu di dalam rahimnya seolah menjadi bagian yang terpisahkan dari dirimu—dari hidupmu. Lalu kau pun terdiam, merasakan kehangatan dan ketenangan itu, dan mata Ibumu yang teduh dan penuh kasih menatapmu dalam-dalam… “Kaulah,” kata Ibumu dalam hati, “Pangeran kecilku, kecintaanku, yang paling kucintai.” Dan segaris senyum melengkung manis di bibirnya yang puitis.

Lalu waktu membawa kalian berdua pada pengalaman-pengalaman suci yang menjadi tonggak penting perjalanan hidupmu berikutnya; saat kau disusui olehnya, saat kau dimandikan olehnya, saat kau gelisah dan tak bisa tidur lalu ia mendendangkan sebuah lagu untukmu, saat kau terluka tetapi dia yang diserang rasa sakit, saat kau terjatuh dan berdarah tetapi ia yang menangis—sebab kau adalah kecintaannya, anugerah terindah yang akan selalui ia sayangi sampai mati.

Ingatkah saat ia mengajarimu sesuatu? Ingatkah saat ia memarahimu tetapi selalu meminta maaf setelahnya? Ingatkah saat ia mengangkat tubuhmu tinggi-tinggi, memutarkan badannya, dan berkata… “Pangeranku, pangeranku, Ibu mencintaimu. Apakah kau mencintaiku?” Dan kau tertawa kecil menggemaskan.

Waktu cepat berlalu, dan kau pun beranjak besar, lalu ia mengantarkanmu untuk pertama kalinya berangkat sekolah… Setelah menyiapkan seluruh perlengkapan yang kau butuhkan, memakaikan pakaian seragam pertamamu, menyisirkan rambutmu, dan menyuapi sarapan pagimu.

Saat kau berkelahi di sekolah, Ibumu memarahimu dan mengingatkanmu agar kau menjadi anak yang baik… “Sayangku, bila kau terluka, akulah yang berdarah,” katanya, “Apakah kau ingin Ibu kesakitan?” Lalu kau menggelengkan kepalamu sambil berjanji tak akan mengulanginya lagi. Dan dialah ibu kandungmu, ibunda kehidupanmu, yang selalu mempersembahkan senyumnya yang paling indah dan tulus—senyum yang menenangkan dan membuatmu nyaman…

Dialah Ibumu, ibunda darah dagingmu. Dialah ibu kandungmu, ibunda kehidupanmu. Lalu, yang selalu membuatku heran, mengapa setelah kau dewasa dan merasa bisa mengurusi kehidupanmu sendiri kau akan melupakan semuanya? Melupakan segala kebaikan hati dan pengorbanannya? Dan kau berani memarahinya, membuatnya menangis dan bersedih, mengecewakan hatinya dan melukainya? Gerangan virus jahat macam apakah yang merasuki pikiranmu, membutakan hatimu?

Ketika kau sudah beranjak dewasa dan dia masih terlalu memperhatikan ini-itu tentangmu, mengapa kau berani membentaknya? “Iya, Bu! Aku kan sudah besar!” katamu. Aku tak mengerti. Sungguh-sungguh tak mengerti. Bahkan kau membuatnya terus-menerus khawatir saat menunggumu pulang dari suatu tempat, kemudian dengan alasan yang tak masuk akal kau melanggar semua janjimu pada Ibumu, lalu saat dia mengingatkanmu, memintamu segera pulang karena ia begitu mengkhawatirkanmu, bahkan kau berani mengumpatnya, “Dasar cerewet!” Katamu dalam hati, “Aku sudah besar!

Memangnya kenapa kalau kau sudah besar? Aku tak mengerti. Sungguh-sungguh tak mengerti. Apalagi ketika kau memutuskan untuk pergi, meninggalkan Ibumu dalam waktu yang cukup lama, untuk meneruskan hidupmu sendiri, jangankan menghubunginya atau memberinya kabar, mengingatnya pun kau tak! Padahal ia selalu menunggumu, dengan debar rindu di muka pintu, “Sedang apa kau di sana, anakku sayang?” Bisiknya lirih.

Dan saat ia tua dan tak berdaya, kau membiarkannya sendiri dan kesepian—karena kau pikir kau sibuk dengan tugas-tugas dan pekerjaanmu. Saat ia sakit, kau memang memintanya untuk ke dokter, tetapi kau lupa bahwa yang paling ia inginkan untuk kesembuhannya sebenarnya adalah senyummu. Bukan dokter atau obat-obat yang menyebalkan itu. Ia ingin kau kau tersenyum tulus padanya, seperti saat kau kecil, senyum yang ia rindukan sejak lama untuk terbit di wajahmu…

Aku tak mengerti. Sungguh-sungguh tak mengerti. Memangnya kenapa kalau kau sudah besar? Dia tetap Ibumu, sejauh apa pun kau pergi, sebesar apa pun kau tumbuh, dialah ibunda darah dagingmu, ibu bagi kehidupanmu.

Ah. Andai kau melihat seluruh sketsa itu dan mengerti…

...

Jadi, inilah kisah itu. Kisah tentang Ibumu yang harus kau cintai sampai kapan pun. Sebab dialah Ibumu, ibunda yang mengandungmu, melahirkanmu, merawatmu, dan selalu menyayangimu dengan tulus dan penuh kasih. Tundukkanlah wajahmu di hadapannya, bungkukkanlah badanmu, raihlah punggung tangannya, ciumlah dalam-dalam sampai cintanya terasa di hatimu… Lalu kenangkanlah segala hal yang pernah kau lalui bersamanya, hiruplah wewangian cintanya, dan katakanlah, “Ibuku, tentang sikapku, tentang salahku, tentang sifatku, dan segala hal dalam hidupku yang bersinggungan denganmu, terima kasih dan maaf. Kaulah kecintaanku, perempuan yang akan kusayangi sampai aku mati.

Bila kau sudah lama tak menemuinya. Pulanglah. Duduklah di hadapannya. Dekatkanlah lututmu dengan lututnya. Letakan telapak tanganmu di paha-paha sucinya. Lalu tataplah matanya dalam-dalam… Reguklah kesyahduan kasih sayangnya… Rasakanlah hingga merasuk ke dalam hatimu, jauh lebih dalam, jauh lebih dalam…

…sebelum dia pergi untuk selama-lamanya…


:::::::::

Temukan kisah selengkapnya dalam novel ”Rahim: Sebuah Dongeng Kehidupan” (Goodfaith Production, 2010). Bagi teman-teman yang berminat, bisa juga memesannya melalui Kurniaesa. Caranya:

Kirimkan Pesan melalui Akun FB Kurnia Esa atau email kurniaesa.order@gmail.com, dengan format:

Nama:
Judul buku yang dipesan:
Alamat:
No.Telepon:

Pembayaran bisa ditransfer ke BCA 5750460714 a.n. Mohammad Yudha Prasetya. Setelah pembayaran dilakukan mohon dikonfirmasi melalui nomor telpon 0857 1021 5526 agar buku dapat segera dikirim.

Pengiriman buku dilakukan setiap minggu di hari Rabu dan Sabtu, dengan ketentuan pembayaran makasimal 1 hari sebelum hari pengiriman, sehingga jika menginginkan pengiriman buku nya mengikuti ‘kloter Sabtu’ mohon transfernya dilakukan paling lambat di hari Jumat (begitu juga dengan kloter Rabu) dan langsung informasikan kepada Kurniaesa lagi. :)

Terimakasih ya. Selamat hari Ibu!

0 comments:

Post a Comment