Fahd Djibrna's Journal

Pak Miskun

print this page
send email


Jang, dina tafaqquh fid-dîn, dina nyiar élmu agama mah, kudu pinter nitipkeun diri. Kudu pinter mawa diri. Lamun bisa mawa diri, urang ogé bakal bisa mawa batur.

Demikianlah, ternyata tak ada yang bisa lebih saya ingat dari Pak Miskun selain nasihat itu.

Subuh itu kami semua tersintak. Dalam sebuah pelajaran Khitabah di kelas IV, tiba-tiba al-Mukarram, KH. Moch. Miskun Asyatibi, memutuskan untuk masuk kelas dan kembali mengajar kami. Sudah lebih lima bulan beliau terbaring sakit—kami semua tahu itu. Kelas Khitabah jadi kosong dan kami merayakannya, meskipun sebenarnya kami semua sedih Pak Miskun tidak bisa mengajar kami lagi. Kelas digantikan oleh guru lain dan, terus terang saja, kami semua tak menyukainya. Kami pikir, ia belum pantas menggantikan Pak Miskun. Tapi kami juga tahu bahwa tak ada pilihan lain. Kelas jadi membosankan, santri-santri mengantuk, kegiatan belajar mengajar dilaksanakan seperlunya; toh sang guru pengganti juga tahu, statusnya hanya pengganti.

Tetapi, subuh itu kami dikagetkan oleh kehadiran Babeh. Kami saling melirik satu sama lain, meyakinkan bahwa kami tidak sedang mengantuk: Pak Miskun sudah menunggu kami di dalam kelas! Ada degup yang tertahan, tetapi senyum tak bisa ditahan. Kami semua bahagia: Beliau telah kembali, beliau telah kembali!

Tak perlu waktu lama, kami sudah duduk rapi dan siap menerima pelajaran. Kami memasang mata dan telinga, meyakinkan diri bahwa kami telah berada dalam posisi terbaik untuk menerima cahaya. Pak Miskun tersenyum ke arah kami, sunyi bergetar di leher kami semua—

“Nak, dalam mencari dan mempelajari ilmu agama, pandai-pandailah menitipkan diri!” Dengan suara yang berat dan dalam, Pak Miskun memulai pelajaran hari ini dengan sebuah nasihat penting, “Pandai-pandailah membawa diri. Sebab jika kita bisa membawa diri, kita juga bisa membawa orang lain.”

Mendengar nasihat itu, kami mengangguk. Seolah ingin menanamkan dan meneguhkannya dalam hati. Nasihat yang sederhana, tetapi sekaligus penting. Seperti kehadirannya Subuh ini yang barangkali sederhana, tetapi teramat penting.

***

Sayangnya, Subuh itu Pak Miskun hanya diberi waktu 15 menit untuk hadir di kelas. Beliau didampingi putra keempatnya, “Sebenarnya dokter tidak mengizinkan Bapak untuk mengajar lagi, tetapi sejak tadi malam Bapak keukeuh mau masuk kelas. Makanya tidak bisa lama-lama, hanya 15 menit.” katanya.

Mendengar penjelasan putranya, kami semua kecewa. Dari air mukanya, kami jadi tahu bahwa Pak Miskun juga sebenarnya sedih. Ia tertunduk beberapa saat, sebelum akhirnya tersenyum lagi. Ah, kami tak ingin menyudahi momen kebersamaan ini… Kami masih ingin menyerap cahaya. Tapi keputusan tak bisa ditawar, Pak Miskun sebenarnya memang masih sakit dan lemah; Kami hanya bisa berdoa, semoga semuanya membaik dan beliau bisa bersama-sama kami lagi.

Sebelum beliau meninggalkan kelas, kami semua berebut menyalaminya. Di Pesantren kami, mencium tangan ustadz bukan sesuatu yang sakral. Kami menganggapnya biasa-biasa saja… Tetapi, mencium tangan Pak Miskun selalu terasa berbeda. Ada getar yang merambat, entah apa namanya. Ada kesyahduan, rasa hormat yang tak tertahan, pengalaman yang mungkin begitu subjektif dan personal—tak terjelaskan. Barangkali inilah alasannya: Di Pondok, satu per satu, kami bisa menemukan cela dari setiap ustadz dan ustadzah yang mengajar kami, tetapi tidak pada Pak Miskun. Beliau pengecualian.

Tingali itu, Jang! Lihat itu!” kata Pak Miskun sebelum meninggalkan kelas, beliau menunjuk sebuah kaligrafi yang terpampang di dinding belakang kelas—kami semua menoleh dan memperhatikan kaligrafi itu, “Yarfa’illâhulladzîna âmanū minkum walladzîna ūtūl-‘ilma darajât, Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan menuntut ilmu. Dialajar sing bener, Jang. Sing betah di Pasantren.” tutupnya.

Lalu, kami menyaksikan beliau pergi. Langkahnya tertatih dengan tongkat di tangan kanannya. Putra keempatnya memapahnya dari kiri. Detik-detik berguguran, jadi kenangan: Di pintu kelas, kami berdiri menyaksikan dua punggung yang menjauh, menyisakan rindu yang tertahan…

***

Sekitar empat tahun kemudian, Pak Miskun meninggal dunia. Sejak Subuh itu, kami tak mendengar lagi nasihat-nasihatnya, khutbah-khutbahnya, suranya saat memimpin shalat berjamaah. Mungkin hanya satu dua kalimat saat kami bertemu dengannya dalam beberapa kesempatan. Itu pun jarang sekali.

Sesekali, jika sedang berjalan-jalan ke luar rumah, dari atas kursi rodanya beliau menyapa kami, “Sarehat, Jang? Apakah kalian sehat-sehat saja, Nak?” Kami mendengar suaranya semakin berat, meloloskan diri dari pita suara yang sempit… Beliau tampak semakin lemah dan sakit. Tetapi, ada yang tak pernah hilang dari wajahnya: Senyum. Ya, senyum memang bukan tentang sakit atau tidak, senyum adalah tentang ketulusan dan cinta…

Ah, pada akhirnya semuanya akan pergi, yang tersisa tinggal kenangan. Semoga Pak Miskun berada di tempat istimewa di sisi Allah, seperti beliau selalu berada di tempat istimewa di hati kami semua… Allâhummagfirlahu warhamhu wa ‘âfihi wa’fu anhu.

***

Demikianlah, ternyata tak ada yang bisa lebih saya ingat dari Pak Miskun selain kebaikan dan rasa cinta. Babeh, begitu para santri menyebutnya. Satu-satunya guru di Pesantren yang barangkali benar-benar sudah kami hormati sebagai seorang “ayah”, dalam pengertian yang sesungguhnya…

~

…Mengenang KH. Moch. Miskun Asyatibi, terima kasih atas semua kasih sayang, tauladan, dan wakaf ilmu yang telah diberikan. Selamat hari pendidikan Nasional, mari kita mengenang guru kita. Berterima kasih dan mendoakannya. :)

Fahd Djibran

0 comments:

Post a Comment