“Fiksi-Musikal”: Sebuah Proses
Sebelumnya, saya tidak tahu apakah istilah yang menjadi judul tulisan ini sudah ada atau belum—lebih-lebih: sudah tepat atau belum sebagai sebuah istilah? Saya tidak tahu pasti. Suatu hari, tiba-tiba saya terpikir dan ingin menggunakan istilah tersebut untuk menyebut bentuk tulisan yang sedang saya kerjakan. Fiksi-musikal? Aha! Istilah yang menurut saya seksi dan tepat untuk menunjukkan apa yang sedang saya kerjakan. Seolah-olah sayalah satu-satunya manusia yang hidup di atas muka bumi, tiba-tiba saya merasa menjadi seorang penemu!
Tapi, apakah ia sungguh benar-benar baru? Saya ragu. Tepatnya, saya tidak tahu. Saya termasuk orang yang mempercayai bahwa sudah tak ada lagi yang benar-benar baru (original) di dunia ini. Demikianlah, sebagaimana manifesto para empu postmodernisme: sub sole nihil novum, tak ada yang baru di bawah matahari, kan?
Ternyata benar saja. Ketika saya cari-cari, “fiksi-musikal” atau dalam bahasa Inggris “musical fiction” bukanlah sesuatu yang benar-benar baru. Apakah saya kecewa? Tentu saja tidak. Justru saya senang. Ternyata ada genre tersebut dalam dunia penulisan kreatif. Begini definisinya: Musical fiction is a genre of fiction in which music is paramount: both as subject matter, and through the rhythm and flow of the prose; that is, music is manifested through the language itself.
Sebentar. Sebentar. Ternyata, kalau melihat definisinya, apa yang saya bayangkan tentang “fiksi-musikal”, agak berbeda dengan definisi tersebut. Dalam benak saya, bentuk “fiksi-musikal” ini merupakan cara lain dalam menyajikan sebuah cerita sekaligus sebuah lagu/musik. Fiksi (cerita) dan lagu (musik) menjadi dua karya yang saling mengisi dan menguatkan satu sama lain dalam sebuah bentuk baru yang “meluaskan” ruang apresiasinya. Dalam “fiksi-musikal” cerita bisa menjadi dirinya sendiri, lagu juga menjadi dirinya sendiri, namun ketika keduanya dipertemukan dalam sebuah “persimpangan kreatif”, mereka bersalin rupa menjadi hibrida yang lain: Sebentuk cerita melodis dengan musik yang naratif. Nah, itu yang saya maksud. Ha!
Untunglah saya menemukan Anthony DeCurtis, seorang jurnalis Rolling Stone, yang memberikan penjelasan seksi tentang musical fiction sebagai “the edgy relationship between music and the written words”. Asyik, kan? Itu dia yang saya maksud. Lebih lanjut, DeCurtis memberikan penjelasan lebih asyik lagi: “Words are long-standing symbols of permanence. Music ultimately is ephemeral, evaporating into your unreliable memory once you’ve heard it. In taking music as their inspiration, writers seek to capture some of that immediacy, that spirit of the moment, and hold it still for their reader’s pleasure.” (Sawyers, June Skinner (Ed.) (2005). The Best in Rock Fiction. Milwaukee: Hal Leonard, p. xii-xiv)
***
Tanpa saya rencanakan secara sadar, ternyata saya sudah menulis dengan logika kreatif “fiksi-musikal” sejak lama, mungkin sejak project Karena Bertanya tak Membuatmu Berdosa: I Care, I Share di tahun 2009. Waktu itu saya membuat sejumlah esai dengan menggunakan lirik-lirik lagu Iwan Fals sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan tulisan yang saya buat. Ada yang masih ingat? Hehehe. Selanjutnya, di buku Yang Galau Yang Meracau (2011) pun saya melakukan hal yang sama, meski tidak pada keseluruhan tulisan. Pada beberapa cerita dan prosa, saya sertakan lirik-lirik lagu yang berhubungan dengan konteks yang sedang saya ceritakan. Atau memang sengaja saya menampilkan lirik lagu Karena tokoh dalam kisah yang sedang saya ceritakan memang menyanyikannya. Because promotion is not a crime, silakan baca buku tersebut supaya lebih jelas. Hehehe.
Ya, begitulah, saya merasa asyik menulis dengan format demikian. Seolah-olah saya menceburkan konteks cerita saya pada lirik dan musik yang bersesuaian dengannya. Atau sebaliknya, saya seolah sediakan "panggung" cerita bagi lirik dan musik yang menari-nari dalam kepala saya. Bagi saya, itu asyik. Saya menemukan dan merasa tulisan saya lebih hidup… Saya juga merasa pesan-pesan yang ingin saya sampaikan kepada pembaca dapat disampaikan secara asyik dengan medium musik/lirik yang saya sertakan dalam cerita-cerita saya. Terserah deh, bagaimana enaknya menangkapnya. Saya juga bingung bagaimana menjelaskannya. Pokoknya begitu deh. :)
Nah, sejujurnya sekarang saya lagi deg-degan. Sebentar lagi, seperti saya pernah sampaikan jauh-jauh hari, saya akan meluncurkan karya "fiksi-musikal" pertama saya. Karya ini, merupakan kolaborasi saya dengan grup musik hebat Bondan Prakoso & Fade2Black. Mudah-mudahan, ini akan menjadi karya yang asyik dan keren. Mudah-mudahan kelak kalian akan suka dan menemukan sensasi dan pengalaman baru dalam membaca cerita. Saya tidak akan menceritakan banyak hal tentang karya ini, takutnya malah jadi spoiler. Pokoknya, buat saya, mengerjakan karya yang satu ini benar-bener berbeda, special, istimewa... well, mudah-mudahan ini menjadi salah satu magnum opus (karya besar) saya, ya. Tunggu saja, waktunya akan segera tiba! Insya Allah akan kami rilis bulan puasa, biar berkah. :)
***
Sebab kreativitas membuat pecandunya menjadi terus-menerus mabuk, saya tidak puas sekadar membuat karya "fiksi-musikal" yang terperangkap dalam lembar-lembar kertas buku. Saya merasa bentuk “fiksi-musikal” ini akan jauh lebih menarik kalau diwujudkan ke dalam bentuk yang lebih luas. Itulah yang mendorong saya membuat sebuah karya eksperimental dalam bentuk fiksi-musik-video yang saya upload ke Youtube beberapa bulan yang lalu. Saya bingung menjelaskannya, silakan langsung saja di lihat di sini, ya!
Dalam karya tersebut, saya berkolaborasi dengan sebuah band dari label Goodfaith, namanya Lovarian. Saya menggunakan lagu mereka yang berjudul “Perpisahan Termanis” untuk saya racik-ulang menjadi sebuah bentuk baru. Hasilnya, tanpa diduga, karya tersebut mendapatkan sambutan yang cukup baik. Sampai sekarang saja sudah ditonton oleh lebih dari 4.500 orang! Namun, sejujurnya, karya tersebut punya dua kelemahan mendasar. Pertama, musik latar awal bagi pengiring ceritanya masih “tempelan”, artinya karya tersebut tidak murni saya kerjakan bersama Lovarian. Musiknya saya ambil “tanpa izin” dari musik instrumen film Endless Love (tapi, tenang, di bagian akhir saya tuliskan kok sumbernya dari mana. Hehe). Kedua, visual yang menjadi latar belakang teks ceritanya juga masih merupakan stock picture bebas yang saya peroleh dari internet.
Belajar dari kelemahan itu, akhirnya saya memutuskan untuk membuat karya yang lebih “baik” dan tidak hanya bekerjasama dengan musisi. Ternyata saya juga harus bekerja sama dengan seniman visual. Kemudian, saya juga harus mengajak si musisi untuk membuat musik latar bikinan sendiri yang memang diperuntukkan untuk kebutuhan karya tersebut.
Akhirnya, inilah yang membuat saya terisnpirasi mebuat sebuah project baru bernama REVOLVERE PROJECT. Project ini terdiri dari penulis, musisi, dan seniman visual yang berkolaborasi menciptakan sebuah karya bersama. Beruntung saya bertemu dengan Fiersa Besari, musisi kreatif asal Bandung, serta Futih Aljihadi, adik saya sendiri, yang seorang seniman visual sekaligus fotografer. Bertiga, kami sudah mulai bekerja sejak dua bulan lalu mengerjakan sebuah karya fiksi-musik-visual yang mudah-mudahan bakal asyik dan menarik. :)
Nah, kenapa namanya REVOLVERE PROJECT? Begini, revolusi (revolutia, perubahan) berasal dari dua kata: revoltaire dan revolvere. Revoltaire berarti menyingkirkan hal-hal yang lama/buruk. Sedangkan revolvere berarti ‘memutar kembali’ menuju arah yang lebih baik; perubahan menuju kesadaran yang lebih baik. Ketika seseorang melakukan revoltaire, belum tentu ia melakukan revolvere. Sementara sebuah revolvere pasti terlebih dahulu dimulai dengan serangkaian tindakan revoltaire. Singkatnya, hasrat perubahan (revolusi) tanpa revolvere hanyalah dendam pada masa lalu yang meledak tidak produktif. Revolvere Project merupakan sebuah project hibridasi fiksi-musik-visual menjadi sebuah bentuk kreatif yang “lain”. Project ini mengajak pembaca-pendengar-penikmatnya berinteraksi dan mengakrabi sebuah karya melalui rasa, telinga, dan mata sekaligus. Revolvere Project hadir bagai pistol kesadaran yang siap menembak-jatuh mereka yang banal, hipokrit, arogan, naif, dan angkuh! :D
Keren, kan? Tapi itu bahasa promosi. Nanti kita lihat saja bagaimana karya yang dihasilkannya? Saat ini, kita perlu bukti. Bukan janji-janji. Kami akan buktikan. Mudah-mudahan bagus. Hehehe.
Jadi apa yang saya bicarakan sejak tadi? Ya, silakan kalian simpulkan sendiri deh! Yang jelas, jika mau tahu fiksi-musikal versi saya, ada satu hal yang harus kalian lakukan dan dua hal yang harus kalian tunggu: bacalah buku Yang Galau Yang Meracau: Curhat (Tuan) Setan, sambil menunggu dua hal: (1) buku fiksi-musikal pertama saya hasil kolaborasi bareng Bondan Prakoso & Fade2Black dan (2) upload video pertama Revolvere Project! :)
Sekian dan mari terus berkarya dan berkreativitas. :)
Salam,
Fahd Djibran
*Gambar diambil dari sini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment