Mengenang Syaikh Ahmad Sahibul Wafa Tajul ‘Arifin (Abah Anom)*
~
Apakah yang paling tak bisa ditahan seorang laki-laki? Hasrat, demikian jawab seorang Sufi. Sesuatu yang mendesak-desak keluar, bagai majikan yang mencocok hidung-kerbau budaknya yang tak kuasa menolak dan mengelak. Tapi kebanyakan, si budak membiarkan dirinya digiring, membiarkan dirinya memasuki surga semu: mata tersesat dalam mata, bibir pada bibir, menghirup bau ranum buah khuldi yang pas di genggaman, menyusuri halus punggung hingga lekuk panggul, membiarkan sekujur tubuhnya berkeringat—dengan napas yang memburu. Setelah sampai pada puncaknya, ada sedikit rasa lega dan bahagia. Sisanya penyesalan.
Itulah yang sering dialami Badri. Penyesalan yang menyesakkan, setelah basah kuyup berkeringat di atas ranjang pelacuran. Ia tahu apa yang dilakukannya keliru. Maksiat hebat. Dosa besar. Tetapi ada sesuatu yang tak bisa ia tolak: bau buah dada remaja. Berkali-kali ia menyatakan taubat, berkali-kali pula ia tersesat: kembali ke jalan yang tak semestinya.
Batinnya sesungguhnya berontak. Setiap hari ia dihantui penyesalan dan rasa gelisah.
“Aku mau taubat, Juk.” Katanya suatu pagi pada Juki, sahabatnya.
“Aku sudah mendengarnya seratus kali.” Jawab Juki. Agak sinis.
“Kali ini aku serius.”
“Aku sudah mendengarnya seratus kali.” Juki bahkan tak menatap mata Badri.
“Juk, dengarkan aku. Aku benar-benar ingin bertaubat. Apa yang harus kulakukan? Siapa yang harus aku temui?”
Juki terdiam. Bukankah telah puluhan kali ia mendatangi para guru? Tapi nampaknya kali ini berbeda, pikirnya. “Ada seorang guru,” jawab Juki kemudian, “kita bisa menemuinya.”
Badri mengangguk mantap. Harapan memancar dari matanya.
Ada keraguan di wajah Juki. Ia memperhatikan wajah sahabatnya itu. Lelaki ini, kata Juki dalam hati, bukan orang jahat. Ia sudah mendatangi banyak guru mengaji, ia melaksanakan semua yang disarankan: laku dan dzikir. Maka, jangan heran: Shalatnya tak pernah terlewat. Puasa ia lakukan, bahkan yang sunat. Ia juga berderma. Ia baik pada sesama. Tetapi, entah mengapa, ia tetap tak bisa menahan syahwatnya pada wanita. Ia berkelana dari satu rumah pelacuran ke rumah pelacuran lain, ia habiskan malam di ranjang-ranjang kemaksiatan…
“Jadi siapa guru itu?” pertanyaan Badri menarik Juki dari lamunan.
“Seorang manusia ikhlas.”
“Manusia ikhlas? Apakah ia seperti guru-guru lain yang kita temui selama ini?”
Juki terdiam sejenak. “Ikutlah denganku, kau akan tahu.” Jawabnya. Singkat.
***
Hari yang telah direncanakan untuk menemui sang guru telah tiba. Badri tak melihat sesuatu yang istimewa dari guru yang ia temui kali ini. Kecuali senyum Sang Guru yang tampak begitu tulus. Sesuatu yang entah bagaimana caranya bisa melegakan hatinya, melapangkan kegelisahannya.
Juki memperkenalkan Badri pada Sang Guru dan menceritakan maksud kedatangan mereka. Juki menceritakan semuanya. Semuanya.
Badri terlihat sangat malu. Tetapi sang guru hanya tersenyum dan mengangguk-angguk. Badri tampak bingung. Ini tak biasa, batinnya. Biasanya guru-guru yang ia temui akan terperangah kaget mendengar cerita tentang petualangannya menjajal ranjang-ranjang pelacuran. Sebagian mereka menggeleng-gelengkan kepala. Sebagian lain langsung memarahinya.
Ada yang berbeda dengan guru yang ia temui hari ini. Ia tampak tenang-tenang saja. Justru tersenyum, mengangguk-angguk.
“Tidak apa-apa.” kata sang guru tiba-tiba. Jelas kalimat itu mengherankan. Guru macam apa ini? Batin Badri berontak. “Tidak apa-apa,” kata sang guru mengulangi, “asal jangan di hadapan saya.” Sang Guru menutup kalimatnya dengan senyum.
Ada yang aneh dari kalimat terakhirnya. Syarat yang jelas akan mudah dipatahkan. Bukankah tak mungkin Badri melakukan maksiat di hadapan Sang Guru?
“Guru,” Badri akhirnya berbicara, “Saya berjanji tidak akan melakukannya di hadapan Guru. Saya tidak akan. Tapi, apakah tidak ada amaliah yang harus saya lakukan atau doa yang harus saya baca? Saya benar-benar ingin bertaubat, Guru.”
Sang guru tersenyum. “Tidak apa-apa, asal jangan di hadapan saya.” Katanya sekali lagi.
Lalu Sang Guru membacakan beberapa kalimat dzikir, mengajarkannya pada Badri. Dzikir yang relatif pendek. Kontras dengan apa yang selama ini biasa ia dapatkan dari guru-guru lainnya. Badri diminta menghafalnya, lalu mengamalkannya. Badri setuju.
***
Beberapa minggu kemudian, Badri kembali dijerang keinginan luar biasa untuk menyalurkan hasratnya. Ia begitu gelisah. Dua sisi berperang dalam hatinya. Tapi toh ia memilih melepaskan hasratnya. Ia memilihi sisi buruk. Ia kalahkan suara-suara baik dalam dirinya, ia melangkah menuju tempat pelacuran terbaik di kota tempat tinggalnya. Entah untuk keberapa kalinya.
Ia tak bisa menghentikan imajinasinya: kerling manja wanita, bau rambut habis keramas, ritzluiting yang terbuka setengah, betis yang bau lotion. Ada sesuatu yang mendesak-desak dari dalam dirinya. Meluap-luap dari pikirannya. Sesuatu yang tak bisa ia tahan.
***
Malam itu, ketika jam dinding menunjukkan angka 10, ia tengah menunggu seorang wanita yang “dipesannya” di atas ranjang sebuah hotel yang ia pesan. Beberapa detik yang lalu, ia baru selesai menyisir rambutnya. Mematut diri memperbaiki penampilannya.
Pada saatnya, wanita itu datang menampakkan diri dari balik pintu. Wangi parfum seketika menguar mengisi sudut-sudut ruangan. Ah, begitu cantik dia, pikir Badri.
Bak Cassanova, Badri segera membimbing wanita itu ke atas ranjang. Ia tatap wajahnya. Ia hirup bau rambutnya. Tak ada yang bisa menghentikan semua ini, batinnya.
Sejenak sebelum ia membuka pakaiannya, tiba-tiba ia teringat nasihat Sang Guru: “Tidak apa-apa, asal jangan di hadapan saya.” Kalimat itu seolah-olah menggema dalam batin dan pikirannya. Entah apa yang terjadi, kalimat itu seketika memenuhi ruang kesadarannya.
Tidak apa-apa, asal jangan di hadapan saya. Kalimat itu menggema dalam dirinya. Seketika, wajah Sang Guru tampak jelas dalam ruang kesadarannya. Senyum itu, gestur itu, batuk itu, bau surban itu, entah bagaimana memenuhi seluruh ruang kesadarannya. Ia tak bisa melepaskan wajah Sang Guru dari pikirannya.
Batinnya seketika terguncang. Ia dijerang rasa gelisah luar biasa. Ia harus memenuhi syarat itu, menepati janjinya: Ia tak akan melakukannya di hadapan Sang Guru.
Malam itu, akhirnya ia mengurungkan niatnya. Ia meminta wanitanya untuk pulang. Ia membayar sebagaimana seharusnya. Beberapa saat kemudian, ia juga pulang.
***
Di waktu yang lain, hasratnya sudah memuncak di ubun-ubun. Seorang wanita cantik sudah duduk di pangkuannya. Tawa kecil wanita itu menjilat daun telinganya. Ia tinggal membaringkan wanita itu di ranjang, lalu menuntaskan semuanya. Tetapi, lagi-lagi, ia ingat nasihat itu: Tidak apa-apa, asal jangan di hadapan saya.
Di sanalah, lagi, ia melihat senyum Sang Guru. Tatap mata Sang Guru. Ada sesuatu yang membuat napasnya tertahan, memaksanya menghentikan semuanya. Ia kembali mengurungkan niatnya.
***
Tiga kali, sekian kali, entah mengapa wajah Sang Guru selalu hadir setiap kali Badri akan melakukan maksiatnya. Tak bisa lepas.
Akhirnya, ia meneguhkan niatnya—ia memutuskan: inilah saatnya untuk berhenti. Kali ini bukan hanya rasa sesal yang keluar dari dirinya, ada sesuatu lain yang menrik-nariknya. Cahaya yang menyejukkan hatinya, “Aku tak bisa melakukannya di hadapan wjahmu, wahai Guru,” katanya.
***
Demikianlah ia “diajarkan”. Dan ia menemukan taubatnya.
“Dan sungguh, perempuan itu (Zulaikha) telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Dan Yusuf pun berkehendak kepadanya, sekiranya ia tidak melihat ‘tanda’ dari Tuhannya. Demikianlah, Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sungguh, dia (Yusuf) termasuk hamba kami yang terpilih.” (QS Yusuf [12]:24)
~
Serpong, 6 September 2011
Fahd Djibran
*Kisah yang saya ceritakan ini fiksi. Cerita ini terinspirasi dari kisah nyata mengenai karamah Abah Anom yang menyadarkan salah satu muridnya, dengan cahaya wajah beliau. Diceritkan oleh salah satu murid Abah Anom. Allahummagfirlahu warhamhu wa ‘afihi wa’fu ‘anhu… Bila berkenan, kirimkanlah Al-Fatihah untuk beliau.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
konon, tanda yang dilihat Nabi Yusuf as dari Tuhan adalah wajah nabi Yakub as (ayah Nabi Yusuf as).
ReplyDelete