Dear Mr. Fahd,
Sebelum saya memperkenalkan diri saya dan menceritakan kisah saya, saya ingin tanya terlebih dahulu: Apa pendapat Saudara Fahd tentang gay, homoseksualitas, atau perasaan suka sesama jenis? Saya tahu background pendidikan formal dan agama yang Saudara tempuh cukup tinggi, namun saya ingin mendengar pendapat pribadi Saudara yang benar-benar jujur mengenai fenomena tersebut.
Salam,
Supernova
+++
Dear Supernova,
Sebelum Anda, ada beberapa e-mail serupa yang menanyakan hal ini. Saya memang belum sempat menjawabnya. Tetapi melihat pertanyaan-pertanyaan semacam ini terus datang, rasanya sudah saatnya saya harus mengemukakan pendapat saya tentang fenomena ini.
Perlu dicatat, ini pendapat pribadi, artinya saya tidak menyandarkan argumen ini pada dalil-dalil agama maupun teori-teori mengenai manusia, relasi, maupun seksualitas manapun. Tentu pendapat ini bisa disetujui atau tidak disetujui siapapun, tetapi jika ingin duduk perkaranya lebih objektif, komprehensif, dan bertanggung jawab, kita memerlukan diskusi-diskusi yang lebih memadai tentang hal itu.
Ada tiga hal yang ingin saya dudukkan dalam tiga porsi yang berbeda, sesuai pertanyaan Anda—
Pertama, perasaan suka pada sesama jenis. Saya ingin memberi tekanan bagi kata ini: Perasaan, dari semua potensi yang dimiliki manusia, adalah dimensi yang paling misterius sekaligus kompleks. Saya tidak bisa memungkiri bahwa perasaan suka kepada sesama jenis adalah sesuatu yang sangat mungkin ada pada diri semua manusia (dengan berbagai alasan). Jika saya melatihnya, dalam arti teruns-menerus memberi ruang dan perhatian untuknya agar bertumbuh, saya pun berkemungkinan memiliki perasaan semacam itu kepada seseorang.
Perasaan adalah dimensi ‘paling lembut’ sekaligus ‘paling keras’ yang dimilki manusia. Itulah sebabnya, ihwal perasaan, manusia memang ditugaskan untuk mengelola perasaannya—agar tidak hidup dengan diperbudak perasaannya sendiri. Saya percaya, manusia yang bahagia adalah manusia yang bijaksana dalam mengelola perasaannya. Dalam kebijaksanaan selalu ada cinta, juga keberanian sekaligus kerendahatian untuk mengalah agar perasaannya tak membuat dirinya menjadi manusia yang melukai perasaan manusia-manusia lain di sekelilingnya. Di sanalah, saya akan mengalahkan ‘perasaan suka pada sesama jenis’ yang (bila) ada pada diri saya tadi jika itu memang bisa menjadikan saya seseorang yang melukai perasaan manusia-manusia lain di sekeliling saya. Saya akan menyambut perasaan lain yang membentangkan kebahagiaan yang lebih lapang untuk hidup saya.
Kedua, gay. Tentu saja ini soal identitas. Sesuatu yang sangat ‘sosial’, artinya kita tak bisa mengabaikan pihak lain (orang lain) ketika berurusan dengan soal yang satu ini. Identitas ini bisa merupakan pilihan, 'tuduhan', atau pelabelan dari pihak eksternal yang (biasanya) dipaksakan.
Dalam soal ini, entahlah, saya percaya bahwa mereka yang mendeklarasikan diri sebagai (kaum) gay adalah mereka yang berusaha mencari tempat yang nyaman untuk bebas manumbuhkan perasaan yang sesungguhnya mereka tahu jika mereka lakukan di tempat lain akan melukai perasaan orang lain. Barangkali mereka yang ingin menemukan kompensasi bagi masa lalunya atau mereka yang ingin secara cepat menemukan kekuatan dari dirinya yang selama ini dianggap lemah oleh dunia di sekelilingnya. Saya tidak tahu pasti dan saya tidak ingin menjustifikasi. Berseberangan dengan itu, saya orang yang percaya bahwa kita tidak bisa menemukan kebahagiaan melalui pelarian, identitas atau atribut-atribut apapun: Kita mesti menemukannya dalam diri kita sendiri secara bebas.
Ketiga, homoseksualitas. Tentu kita setuju bahwa atribut utama dari kata ini adalah 'seks'. Jadi jelas ini soal hasrat, orientasi, nafsu, kelamin, fantasia: Hal-hal yang sepanjang sejarah manusia dicari, diperdebatkan, dan dikreasikan dengan berkiblat pada pemenuhan kepuasan masing-masing manusia (bersifat ke dalam). Saya percaya tidak ada ketulusan cinta di sini, sebab 'perasaan-perasaan' secara egois selalu direduksi menjadi seperangkat alat untuk mencapai dan memenuhi kepentingan-kepentingan tertentu, kepuasan-kepuasan tertentu. Jika homoseksualitas adalah kompensasi badaniah untuk sesuatu yang 'di-kambing-hitam-kan' sebagai cinta, sama seperti kepada heteroseksualitas yang mereduksi cinta sebagai pemenuhan seks belaka: Saya jelas menolaknya. Saya tidak pernah berniat merendahkan diri menjadi manusia yang diperbudak nafsunya sendiri.
Supernova,
Manusia adalah makhluk yang ditakdirkan untuk memilih. Dan kita selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan yang bukan hanya banyak, tetapi juga bercecabang dan beranak-pinak. Di hadapan pilihan-pilihan itu, kita dituntut untuk cerdas dan bijaksana—tidak hanya mementingkan diri kita sendiri untuk memenuhi apa yang kita inginkan.
Thus, meski pilihan-pilihan untuk menjadi 'penyuka sesama jenis', gay, atau homoseksual sama tersedia dalam hidup saya sebagai manusia: Saya tidak ingin memilihnya. Saya berdiri di atas lutut saya sendiri, dengan kepala tegak, dan perasaan yang bebas: Menolaknya.
Sekali lagi, ini pendapat pribadi saya. Saya tidak menyandarkan pendapat ini pada dalil-dalil agama maupun teori-teori manapun. Saya bodoh sekaligus gagap tentang semua hal itu. Saya berdiri dan berkata dengan apa yang saya pahami dari diri saya sendiri; Dan tentang diri sendiri, tak ada satupun orang lain yang berhak mengintervensinya, bukan? Sebab kitalah tuan bagi diri kita sendiri!
Semoga kita menjadi tuan yang bijaksana—bagi diri dan kehidupan kita.
Salam,
Fahd
As the winter winds litter London with lonely hearts
Oh the warmth in your eyes swept me into your arms
Was it love or fear of the cold that led us through the night?
For every kiss your beauty trumped my doubt
And my head told my heart
"Let love grow"
But my heart told my head
"This time no
This time no"
We'll be washed and buried one day my girl
And the time we were given will be left for the world
The flesh that lived and loved will be eaten by plague
So let the memories be good for those who stay
And my head told my heart
"Let love grow"
But my heart told my head
"This time no"
Yes, my heart told my head
"This time no
This time no"
Oh the shame that sent me off from the God that I once loved
Was the same that sent me into your arms
Oh and pestilence is won when you are lost and I am gone
And no hope, no hope will overcome
And if your strife strikes at your sleep
Remember spring swaps snow for leaves
You'll be happy and wholesome again
When the city clears and sun ascends
And my head told my heart
"Let love grow"
But my heart told my head
"This time no"
And my head told my heart
"Let love grow"
But my heart told my head
"This time no
This time no"
*Lagu: Mumford & Sons ~ Winter Winds (2011)
bisa di fahami
ReplyDeletenaudzubillah min dzalik, kita semua berlindung dari godaan syaitan...semoga kita selalu berada di jalan yang diridlai Allah SWT!amin...
ReplyDeleteHaah Keren banget jawabannya :O
ReplyDeletekalo gw pribadi, gw nggak pernah percaya kalo gay ataupun lesbian itu ada, atau perasaan sebagai gay dan lesbian itu diciptakan oleh tuhan. yang yang gw tau dan yang ada sekarang, adalah, Tuhan Hanya menciptakan laki-laki dan perempuan sebagai pasangannya, bukan laki2 untuk laki2 , kalau gitu buat apa dia menciptakan perempuan?. vice versa! sudah jelas kan tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir?! :D
kalo common sense saya sih mikirnya gini, ketika gay/homoseksual dalam kehidupan nyata juga terbagi atas peranan2 siapa yg bertindak sebagai perempuan atau sebagai laki2 (misalnya istilah untuk gay adalah top-bottom, dan lesbi adalah butch-femme), so..what is the meaning of being gay/homo? kalo pada dasarnya mereka juga "mengadopsi" peran2 sebagai perempuan dan laki2 itu..
ReplyDeleteno offense yaa..that's just my thought.. :)
eniwei, nice posting mas fahd.. :)