Tentang Kita
—Revolvere Project
8 bulan yang lalu
Senja itu aku tertunduk sesaat setelah mata asingmu memandangku. Tetapi kau duduk dan membelai kepalaku. Ada perasaan yang tak bisa kujelaskan: Angin berembus perlahan, kantung plastik hitam melayang di mulut gang. Lambat.
“Ikutlah denganku. Aku akan menjagamu,” katamu.
Kamu tidak tersenyum. Tetapi aku bisa merasakan ketulusanmu: Dari sanalah kisah tentang kita bermula.
5 bulan yang lalu
Sejak hidup bersama, ikatan perasaan di antara kita semakin kuat: Kau begitu perhatian dan aku jadi tahu banyak hal tentang dirimu.
Entah bagaimana, sejak bersamamu, aku selalu ingin berada di dekatmu: Menyusup ke balik selimutmu, atau mengelus betismu, atau berusaha menjawab semua pertanyaanmu.
Aku senang kau menerimaku sebagai diriku sendiri: Terutama saat kau membelaiku, atau menyuapiku, atau tersenyum padaku.
2 bulan yang lalu
Meski hidup bersama, kita bukan sepasang kekasih. Ya, kita hanya teman. Lebih dari itu, mungkin sahabat—jika tidak berlebihan.
Malam itu, aku memandang dahimu yang mengerut sesaat setelah kau mengakhiri percakapan dengan Santi di telepon. “Ah! Ternyata nggak ada cinta yang murni di dunia ini! Aku muak dengan hubungan yang penuh kepentingan! Aku kira Santi berbeda, ternyata sama saja!” katamu kesal, setengah berteriak.
Kau melemparkan telepon genggammu sebelum menghempaskan dirimu ke tempat tidur. Aku berjalan perlahan ke arah kursi. Sekilas, kau melihat ke arahku. Aku memilih diam, tak ingin memperburuk suasana.
Ah, lagi-lagi Santi yang membuatmu bersedih. Tapi mengapa manusia suka mempertahankan hubungan yang jelas-jelas tak membuat mereka bahagia? Aku hanya bisa mengajukan pertanyaan itu dalam hati.
Lalu kita duduk di kursi yang sama. Kau membelai kepalaku, aku beringsut ke ketiakmu.
“Barangkali memang sudah tiba saatnya buatku untuk berpisah dengan Santi.” katamu. Sungguh, aku bahagia mendengarnya.
Kemarin
Kamu memang baik hati, juga tampan: Perempuan datang dan pergi dalam kehidupanmu. Bagimu, perpisahan selalu merupakan kata lain bagi sebuah perjumpaan baru. Setelah Santi, ada Tania yang kini menjadi kekasihmu: Dia cantik, dia baik, sayangnya dia tidak suka padaku.
Tania begitu dominan dalam hubungan kalian. Ia mengintervensi banyak hal dalam kehidupanmu: Keuangan, rutinitas, pekerjaan, hingga pertemanan. Semua yang membuatku bertanya-tanya...
Cinta macam apa yang mengekang kebebasan? Cinta macam apa yang memisahkan ‘aku’ dari ‘kamu’? Cinta macam apa yang memposisikan ‘aku’ lebih tinggi dan berkuasa daripada ‘kamu’? Cinta macam apa yang tak sanggup menampung ketulusan dan keluasan makna dari kata ‘kita’?
“Sayang, pokoknya besok aku nggak mau lagi ada dia di sini, ya...” Demikianlah, sambil menunjuk hidungku, tiba juga saatnya kata-kata lembut Tania menuntut perpisahan kita: Ia tak menginginkan keberadaanku di tengah-tengah kalian.
“Tapi...” kamu berusaha menjelaskan.
“Aku nggak perlu alasan apapun, Sayang...” Ah, Tania memang tak ingin mendengar alasan apa-apa lagi darimu, ia hanya ingin aku pergi. Titik. “Kamu lebih sayang aku atau dia?” Tania mengeluarkan jurus andalannya.
Kamu tertunduk lesu. Lalu melihat ke arahku. Aku tak bisa berkata apa-apa: Keputusan sepenuhnya ada di tanganmu—meski aku tahu kamu tak mungkin memilihku.
Sekarang
Akhirnya tiba juga waktunya. Sejak pertama kali kau mengajakku ke rumahmu, aku sadar rumah itu bukan tempat tinggalku untuk selama-lamanya. Dan ternyata: Hari inilah kita harus berpisah.
Aku masih bisa merasakannya: Kau membelai halus bulu-buluku sebelum kita berpisah dan menjalani hidup masing-masing seperti sebelum kita bertemu. Aku berjalan perlahan menjauhi tempatmu berdiri, menuju kehidupanku sendiri.
Aku tak bisa menangis, meski sejujurnya sangat bersedih. Terima kasih sudah menjadi teman dan sahabat. Terima kasih untuk semua cerita tentang ‘kita’: Aku dan kamu.
Aku bahagia kalau kamu bahagia. Semoga kalian berbahagia, tentu saja.
*
Note: Terima kasih sudah mengapresiasi karya-karya kami di Revolvere Project. Tentu kami lebih senang jika teman-teman turut menikmati "cara membaca baru" yang kami tawarkan melalui format fiksi lintas media dalam video di tautan ini. Sedikit ulasan dan prolog dari kami mengenai karya ketiga ini bisa dibaca di sini. Terima kasih jika berkenan membantu kami menyebarkan dan meluaskan ruang apresiasi bagi karya ini.
Temans, cukup klik "retweet" dan kami akan sangat berterima kasih. :) | fahdisme.com/2012/06/tentan… Salam @RevolvereProj #TentangKita
— Fahd Djibran (@fahdisme) June 28, 2012
Semacam flash fiction, memberi kejutan di akhir...nice!
ReplyDeleteKucing pun berkata, "Aku bahagia kalau kamu bahagia...." *dan tiba-tiba sedih pun merasukiku* *mata berkaca-kaca*
hmmm..sy berhasil tertipu.
ReplyDeletebaguss banget tulisanx kak..
Tulus dlm konteks sesama manusia mmg sulit untuk d cari..
jd ingat kucing saya,sbelum ibu sy meninggal sy & kk punya kucing namax "ucil" kucing yg dbuang dpn lorong rumah.akhirx sampai drumah kami. Bapak sy paling tidak suka sm kucing,sbelum ucil kami jg punya kucing kampung warna putih tk bernama.. :D stelah beranak 3..akhirx dbuang sm bapak.
ucil,sm kyk foto diatas,tpi ucil tak punya bulu wrn putih..sy suka mandiin, smpai cari kutunya.Tapi kami harus pisah krna ibu saya meninggal..kami pindah di kota asal bapak & ibu saya..
apa kabar ucil???sdh 12 tahun tak ketemu .. :)
Ide mengangkat si Meongnya luar biasa!
ReplyDeleteIriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii >_<