Fahd Djibrna's Journal

#indonesiajujur: Ihwal Kepalsuan

print this page
send email
Kisah Al dan Ibunya, Siami, di Surabaya memang menampar kesadaran kita.

Lalu kita dibuat sadar bahwa kejujuran telah roboh dari bangunan kesadaran kolektif masyarakat kita. Bagaimana mungkin secara bersama-sama orang-orang dibuat membenci dan mengkhianati nilai yang selama ini kita yakini bersama sebagai sesuatu yang penting sekaligus sakral, kejujuran? Ah, kita tahu kejujuran memang teramat penting sekaligus sakral untuk diperjuangkan, ditegakkan kembali. Maka Al dan Siami seolah menjadi momentum yang tepat untuk mengembalikan kejujuran yang entah hilang kemana. Mungkin inilah yang menggerakkan kita untuk membuat sebuah gerakan sosial dalam rangka mengembalikan nilai luhur kejujuran.

Bagi saya, untuk menjadi bangsa yang jujur, pertama-tama kita harus mengakui bahwa kita memang suka berbohong. Untuk kemudian melakukan serangkaian kerja penyadaran dan perbaikan untuk menjadi lebih baik—barangkali “lebih jujur”. Kalaupun kita tidak bisa menjadi “manusia jujur”, lebih-lebih “bangsa jujur”, paling tidak kita bisa tetap setia menyunggi kejujuran sebagai sesuatu yang penting sekaligus sakral: membela orang yang jujur, mencintai orang jujur, dan menjadikan mereka sebagai teladan. Bukan memusuhi atau menganggapnya “lebay” atau “irasional”. Itu saja, bagi saya, barangkali sudah cukup sulit.

Dengan mengakui kita suka berbohong, sesungguhnya kita sekaligus “sadar” untuk mengaku bersalah dan menanggung konsekuensi dari kesalahan-kesalahan. Bukan hanya membela dan mengkampanyekan kejujuran. Toh, nyatanya, manusia Indonesia yang paling banyak bohongnya pun—barangkali salah satu dari kita—bisa dengan gagah berani mengikuti kampanye ini dan menunjuk hidung wali-wali murid yang mendemo Siami di SDN Gadel sebagai “kehilangan rasa kemanusiaannya”, “tak punya hati nurani”, dan seterusnya. Sama persis seperti koruptor yang bisa dengan gagah berani mengatakan bahwa korupsi itu “haram”, “dosa”, “keji”, pada siapa saja—tanpa melakukan kerja penyadaran dan perbaikan bagi dirinya sendiri.

Ya, inilah ajakan saya: mari mengaku kalau kita juga pernah berbohong, tentang hal-hal kecil atau hal-hal besar, mengaku bahwa sewaktu sekolah kita pun pernah menyontek dan kadang-kadang membenci teman yang tak mau memberikan contekannya. Sebelum membuat masyarakat dan bangsa yang jujur, mari bekerja untuk diri kita sendiri. Paling tidak, mari bersikap jujur pada diri sendiri.

Saya ingin berbagi sebuah tulisan. Prosa tersebut sebenarnya bukan tulisan baru saya. Saya menulisnya di tahun 2009 dan terdapat dalam buku saya berjudul Curhat Setan. Ada sesuatu yang membuat saya tergerak untuk membagikan tulisan tersebut. Saya ingin mengajak kita semua jujur bahwa kita toh memang suka berbohong. Lantas, pertanyaannya, bisakah kita bekerjasama untuk berusaha tidak berbohong lagi—sekaligus tidak menciptakan situasi-situasi yang "memaksa" orang lain untuk berbohong?

Selamat membaca. Semoga Tuhan melindungi kita dari kebohongan-kebohongan dan kejujuran-palsu yang terkutuk!


Fahd Djibran

Penulis buku Yang Galau Yang Meracau: Curhat (Tuan) Setan (2011)


:::::


Bohong


Kau pernah berbohong? Aku pernah. Bahkan mungkin sering. Bila kau tanyakan pada siapa aku pernah berbohong? Aku tak bisa mengingatnya lagi. Ingatan kita selalu pendek soal kealpaan, bukan? Dan kapankah aku pertama kali berbohong? Aku juga tak ingat kapan persisnya, tetapi itu kulakukan pada ibuku, di suatu sore yang membuat dadaku berdebar dan tubuhku gemetar.

Ibu melarangku bermain di sawah. Sejujurnya dengan alasan yang tak bisa kuterima dan tak sepenuhnya kumengerti. Tetapi teman-temanku semuanya main di sawah; memburu layang-layang atau sekadar menyusuri pematang. Dan aku terkucil karena berhari-hari menolak ajakan mereka bermain ke sana. Aku teguh pada apa yang dipesankan ibu padaku, tetapi pilihan itu adalah pilihan yang (me)sulit(kan). Sungguh.

“Ah, banci!” kata temanku mengejek.

“Tapi Ibu melarangku bermain di sana!”

“Ayolah, ibumu nggak akan tahu, kan?”

Ya, ibu memang tak akan tahu sekalipun aku tak menyelinap keluar untuk bermain lumpur di sawah. Ibu tak pernah ke mana-mana selain di rumah. Maka kuputuskan untuk melampaui “batas” yang ibu buat untukku. Diam-diam, aku menyelinap keluar, dan memandang sawah yang terbentang. Seorang teman menarik lenganku, “Ayo kita mencuri tomat!” katanya.

Mencuri? Aku baru saja melakukan kesalahan pertama, haruskan kesalahan kedua segera menyusul? Rupanya memang begitu. Sekali pintu kesalahan terbuka, pintu lainnya begitu menggoda. “Aku tak ingin mencuri tomat!” bantahku tetapi setengah berlari mengikuti temanku si pencuri tomat. “Ayolah, sekali saja,” katanya sambil terus berlari menarik lenganku, menyunggingkan senyum mengejek di ujung bibirnya—seperti seseorang yang berkata, kau bukan laki-laki pengecut, kan?

Lalu dengan dada yang berdebar, aku pun mencuri tomat.

***

Setelah itu, berkali-kali aku menembus sawah, berkali-kali aku mencuri tomat. Dan kini kami harus pulang melewati batas senja karena kami ketahuan oleh paman penjaga petak tomat ketika sedang berusaha mencuri buah-buah miliknya: kami harus menghadapi sidang susila di depan gubuk paman penjaga tomat!

“Oh, jadi kalian yang suka mencuri tomat!?” bentaknya pada kami. Dadaku berdebar hebat. Andai saja bisa kuakali waktu, aku ingin menolak ajakan temanku dulu untuk melanggar pesan ibu. Andai saja bisa kuputuskan nadi waktu.

“Bukan, bukan, Paman. Kami bukan pencuri. Kami hanya mengambil tomat-tomat yang busuk untuk bermain perang tomat.” Salah seorang temanku membela diri. Ia berbohong.

“Ah, alasan!” katanya. “Aku akan melaporkan kalian pada orang tua kalian masing-masing!”

Deg! Tiba-tiba aku sesak napas. Aku tak mau melukai perasaan ibuku. Aku tak mau membuat ayahku malu. Ah, andai saja bisa kuakali waktu. Aku menyesal, sedalam-dalamnya. Ah, tetapi penyesalan hanyalah orang suci yang entah pergi ke mana ia sebelumnya.

Setelah berjanji tak akan mencuri tomat lagi, kami dilepaskan dengan sebuah ancaman; kalau sekali lagi ketahuan mencuri tomat, paman penjaga petak tomat tak akan segan melaporkan kami pada orang tua kami masing-masing.

***

Menjelang azan Isya, kami baru pulang ke rumah masing-masing. Dan Ibu marah padaku.

“Kamu ke mana saja?” tanya ibu.

“Main, Bu,” jawabku agak lesu.

“Main dari mana jam segini baru pulang?”

“Eh… mmm… dari rumah Ruli.” Tiba-tiba aku mendapati diriku menjadi pembohong hebat. Ah, dadaku kembali berdebar tak karuan. Aku bohong lagi pada ibu.

“Kenapa pulangnya malam begini?”

“Eh… mmm… ya main aja. Keasyikan. Aku mau mandi, ya, Bu?”

“Ya.”

Sore itu, aku jadi pembohong hebat. Aku tak tahu apakah bohong semacam itu mendapat dosa yang utuh? Aku tak berbohong, aku hanya tidak mengatakan yang sebenarnya, atau aku hanya mengatakan sebagiannya saja. Aku pikir Tuhan tahu kalau kebohonganku kali ini adalah kebohongan untuk menjaga perasaan ibu, dan kebohongan seperti itu ada sedikit kebaikannya. Tapi, apakah malaikat tahu bahwa kebohongan yang dilakukan untuk menjaga perasaan orang lain harus mendapat diskon karena ada sisi baiknya? Mudah-mudahan malaikat tahu.

Sejak itu, aku jadi terbiasa berbohong. Bahkan aku tak ingat soal apa saja kebohongan yang pernah kulakukan. Hanya, pikirku, kebohongan-kebohongan yang kulakukan cenderung bisa dimaafkan. Misalnya, sewaktu kelas 3 SD, aku berbohong pernah pergi ke Jakarta ketika ibu guru bertanya siapa yang pernah ke Jakarta. Semua teman sekelasku mengacungkan tangan. Kecuali aku. Dengan terlambat aku mengacungkan tangan. Mungkin kebohongan semacam itu dosanya sedikit, ibu gurulah yang sebenarnya salah. Mengapa harus menanyakan hal-hal yang bisa membuat sebagian muridnya menjadi malu? Atau mungkin seharusnya begini: mengapa membuat pertanyaan yang mungkin membuat sebagian muridnya berbohong? Semua murid mengacungkan tangan waktu itu, dan aku tak tahu siapa yang sama-sama berbohong sepertiku?

Tapi rupanya kebohongan tak akan membiarkan kita losos begitu saja. “Zira, ke Jakartanya ke mana?” tanya ibu guru. Ah, aku tak mungkin menjawab tidak tahu, kan? Aku ingat pernah menonton siaran soal Taman Impian Jaya Ancol. Lalu, “Ke Ancol, Bu!” jawabku.

“Wah, aku juga pernah ke sana!” sahut Rendi. “Kamu naik Bianglala, kan?”

“Iya, donk!” jawabku yang semakin fasih berbohong.

“Asyik, ya?”

“Iya!”

Ah kebohongan-kebohongan itu semakin tak bisa kulepaskan dari diriku. Sejak itu aku jadi tahu, kebohongan yang kecil sekalipun, meski sudah didiskon karena kita melakukannya untuk menjaga perasaan orang lain—atau perasaan kita sendiri—tetap bisa jadi besar kerena jumlahnya yang banyak. Kebohongan tak bisa dihentikan. Aku tahu itu setelah aku dan Rendi selesai mengobrol panjang soal Jakarta dan Taman Impian Jaya Ancol yang hanya kulihat di televisi itu.

***

Kali ini aku berbohong. Kebohongan yang kecil, sebenarnya. Tetapi kusadari merupakan bagian lain yang tersambung dengan kebohongan pertamaku dulu. Aku kecewa karena kali ini dadaku sudah tak berdebar lagi ketika berbohong. Apakah aku sudah menjadi pembohong hebat—yang bahkan tak akan terdekesi oleh mesin pelacak kebohongan karena tak ada debar yang istimewa?

Aku tak tahu. Aku hanya kehilangan debar itu. Debar yang membuatku tak bisa tidur semalaman dan memaksaku berjanji tak akan berbohong lagi.

Kau pernah berbohong? Aku sering. Bila kau tanyakan pada siapa aku pernah berbohong? Aku tak bisa mengingatnya lagi. Ingatan kita selalu pendek soal kesalahan-kesalahan, bukan? Dan kapankah aku pertama kali berbohong? Aku juga tak ingat kapan persisnya, tetapi itu kulakukan pada ibuku, di suatu sore yang membuat dadaku berdebar dan tubuhku gemetar. Seperti sudah kuceritakan kepadamu.

Bila kau pernah berbohong, pernahkah kau dibohongi? Ah, rasanya kita tak bisa lepas dari kebohongan-kebohongan. Berbohong-dibohongi. Kau bahkan tak tahu bahwa sejak tadi aku membohongimu dengan cerita soal masa laluku, bukan? Apa kau juga pura-pura membaca cerita-ceritaku? Ha!
http://www.blogger.com/img/blank.gif
Aku juga tak tahu. Semoga Tuhan melindungi kita semua dari kebohongan-kebohongan dan kejujuran-palsu yang terkutuk. Amin.

***

Gambar diambil dari sini.

0 comments:

Post a Comment