Papua. Aku selalu punya mimpi untuk suatu hari berkunjung ke sana: Bukan untuk sekadar melihat keindahan alamnya, sebab sedikitpun tak ada yang perlu diragukan dari karunia Tuhan yang telah memberikan Papua separuh surgaNya. Aku ingin bertemu saudara-saudaraku, di Papua, yang dalam berbagai keterbatasan, yang jauh, selalu setia menjadi Indonesia: Aku ingin belajar dari mereka!
Papua. Aku ingin suatu hari menghirup udaramu, mencuci-muka di bening sungai-sungaimu, bersandar di teduh pohon-pohonmu, atau berbaring di luas tanahmu—menikmati biru langitmu. Aku ingin bertemu kalian, saudara-saudaraku. Menyanyi bersama, menari bersama, membuktikan dan merayakan makna bahwa kita sungguh-sungguh bersaudara: Sebagai Indonesia.
“Kenapa kita orang harus terusir dari kita orang punya tanah? Kenapa kita orang tak bisa menikmati kita orang punya emas? Kemana kita orang punya Kasuari pergi?” Katamu.
Papua. Izinkan aku menggenggam tanganmu, melangkah bersama kakimu, merayakan cinta di dadamu. Maafkan. Maafkan kami yang selama ini demikian tolol menyakiti perasaanmu. Maafkan kami yang selama ini demikian rakus dan kurang ajar mencuri tanahmu, hutanmu, airmu, isi perutmu, pikiranmu, perasaanmu. Maafkan kami yang selama ini demikian biadab mengusir kebahagiaanmu. Sementara kamu, Papua, tetap saja begitu mulia memedam rasa cinta sebagai Indonesia.
Maka apabila tentara-tentara berani menodongkan senjata ke wajahmu, Papua, katakan pada mereka bahwa aku tak akan segan-segan meringkus mereka kapan saja ketika mereka di hadapanku. Katakan pada siapa saja yang mengancammu, merendahkanmu, memiskinkanmu, aku akan membakar rumah-rumah mereka—membongkar kebahagiaan mereka! Papua, aku akan selalu ada, sebagai saudara, membela dan mengorbankan apa saja untuk menegakkan hidup kita yang mulia: Sebagai Indonesia.
... Dan aku akan benar-benar ke sana, Papua. Ke tanahmu. Ke airmu. Ke tanah air kita untuk mengatakan pada dunia bahwa kita bersaudara: Bahwa kita Indonesia!
“Inilah kita orang punya negara, inilah kita orang punya bangsa. Inilah Indonesia, tak boleh ada orang lain yang mengganggunya!”
FAHD DJIBRAN | 18/06/2012
Sungguh saya menangis membacanya..
ReplyDeleteKapan kita bisa berlaku sebagai saudara bagi mereka, bukannya sebagai pencuri
ReplyDeleteapaan sih SBY ini..!
ReplyDeleteINDONESIA JUGA BUKAN HANYA JAKARTA WOI PAK PRESIDEN!
saya juga kesal sama parlemen di jakarta..
cerita yg bagus, membuka pikiran dan hati kita :')
ReplyDeletengga usah jaim untuk sekedar meneteskan air mata ketika membaca cerita ini.
ReplyDeleteHidup PAPUA :D
Bergetar rasanya...
ReplyDeleteMungkin ini sensasinya punya rasa nasionalisme
HIDUP INDONESIA!!
Nu Waar. Saudaraku... Tenang2kan hatimu. Di Jogja ku suarakan isi hatimu. Kuperjuangkan hakmu, sebagai Saudaraku. Kapitalisme dan pembelanya sebentar lagi tumbang di ujung pisau tajam yg kugenggam. Tenang2kan hatimu.
ReplyDeletemereka dizhalimi.... sebagaimana Aceh, Papua adalah korban mafia mantan manusia yang jadi setengah hewan setengah setan.... akhh
ReplyDelete