Apa yang terjadi di Sampang?
Esai | FAHD DJIBRAN
Apa yang terjadi di Sampang, Madura? Saya menyalakan televisi, menyaksikan berita bergambar peperangan: Rumah terbakar, bayi menangis, ibu yang ketakutan, sekelompok orang mengacungkan celurit, balok kayu, bambu—dengan tatap mata penuh amarah dan kebencian.
Ada apa ini? Saya menyaksikan potongan gambar-gambar itu dengan kecemasan dan pertanyaan. Ada apa dengan saudara-saudara saya di Madura? “Pemirsa,” demikian penyiar perempuan itu berusaha menjelaskan, dahinya berkerut dengan tatap mata sinikal, “Para pengikut aliran Syiah yang rumahnya dibakar warga masih mengungsi di kantor Kecamatan Omben, Sampang, Madura, Jawa Timur. Sementara polisi masih siaga untuk mengantisipasi adanya serangan balik dari massa Syiah.”
Saya menggelengkan kepala. Bagi saya, penulis dan penyiar berita itu sama-sama menggunakan cara berpikir yang keliru dalam melihat peristiwa dan menyusun kalimat berta. Tetapi headline berita itu lebih manyakitkan hati: Bentrok Sunni-Syiah di Sampang, Madura. Saya segera menaruh kecurigaan yang teramat besar bahwa sesungguhnya mereka tidak mengerti banyak tentang apa itu Sunni dan apa itu Syiah—apa konsekuensi meletakkan kedua nama itu secara berdampingan dalam kerangka berita yang provokatif sekaligus sensitif?
Saya memutuskan untuk memindahkan kanal TV: Sebuah diskusi dengan topik yang sama sedang dilangsungkan. Tampak seorang narasumber yang seolah “ahli” sedang menjelaskan duduk perkara peristiwa yang sedang terjadi di Sampang, Madura, melalui teori-teori dan perspektif yang entah bagaimana teramat sulit untuk dipahami. Pada akhirnya, dia menuntut pemerintah untuk bersungguh-sungguh membela hak-hak kebebasan beragama seluruh bangsa Indonesia sambil secara paradoksal menyalahkan dan menuntut gerakan-gerakan transnasional semacam Wahabisme dan Salafisme agar segera dibasmi dari Ibu Pertiwi. Narasumber lainnya tak setuju dengan pandangan itu, “Agama Islam itu sudah jelas,” katanya, “Segala bentuk penyesatan dan penistiaan agama seperti dilakukan kelompok Syiah harus segera dienyahkan agar tak mengotori aqidah ummat.”
“Baik, ditahan dulu komentarnya, Bapak-bapak.” kata sang pembawa acara sambil tersenyum menghadap kamera, “Jangan kemana-kemana, pemirsa, perbincangan ini masih akan berlanjut di segmen berikutnya, setelah jeda komersial berikut ini.”
Ada apa ini? Semua yang saya saksikan di televisi membuat saya gagal mengerti. Mengapa belakangan banyak orang merasa sedang mewakili seluruh Bangsa Indonesia? Mengapa belakangan banyak orang merasa sedang mewakili “umat”? Mengapa banyak orang merasa layak mewakili Tuhan? Mengapa banyak orang menjadi begitu bengis dan pemarah untuk membela kebenaran dan keyakinan yang sesungguhnya domain masing-masing individu? Apa yang sesungguhnya sedang mengancam mereka? Saya selalu gagal mengerti.
Saya membayangkan program televisi dengan rating yang tinggi. Saya membayangkan para pengiklan yang mengantre untuk tampil di tengah-tengah program tersebut. Saya membayangkan angka-angka, statistik dan uang. Saya membayangkan masyarakat yang tengah disuguhi cara pandang yang parsial dan keliru-keliru tentang segala sesuatu. Saya membayangkan kebohongan-kebohongan yang dikemas menjadi seolah-oleh berita—seolah-olah kebenaran. Saya membayangkan kebencian-kebencian baru, kebodohan-kebodohan baru, benih-benih konflik tumbuh di langit pikiran banyak orang di seluruh penjuru negeri.
Apa yang terjadi di Sampang, Madura? Saya memutuskan untuk mematikan televisi: Layar transmisi suara dan gambar yang telah sempurna mengubah dirinya dari tele-vision menjadi tell-lie-vision.
Demi apapun, saya tidak melihat kaum Syiah dan Sunni dalam rumah yang terbakar, bayi yang menangis, ibu yang ketakutan, wajah yang bengis, balok kayu, celurit, darah, dan korban: Saya tidak melihat agama, saya tidak melihat Islam di sana. Saya melihat manusia-manusia dengan pikiran kerdil dan perilaku barbar. Selain itu, saya melihat ketidakbecusan negara dalam mengelola masyarakatnya—negara yang gagal melindungi nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Apa yang terjadi di Sampang, Madura? Saya melihat agama yang dinodai oleh perilaku kotor para pengikutnya. Saya melihat Tuhan yang dinistakan dalam dada yang dipenuhi amarah, kedengkian dan kebencian. Saya telah sekali lagi melihat wajah Muhammad yang dilukai oleh ummatnya sendiri!
Jakarta, 28/8/2012
*Gambar diambil dari sini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
rindu bersatu, :)
ReplyDeletesyiah itu acceptable target ya? sama kaya orang yahudi pas jaman nazi jerman?
ReplyDeletemiris yah melihat pelabelan yang membuat manusia lain merasa lebih hebat dari yang lainnya
ReplyDeletetak tercermin lagi pancaran kasih sayang antar umat manusia
speechless :(
dari zaman perang salib, agama selalu menjadi alasan yang dibenarkan untuk membunuh mereka yang berbeda
ReplyDeletemedia is Lebay.
ReplyDeleteAlay
Mantap. Memberi perspektif baru yang menggugah...
ReplyDeleteSpeechless, lagi2 label agama yg digunakan.. dan lagi2 media jadi berasa banget lebay nya... -_-'
ReplyDeleteemang, pemberitaan di tv itu kadang lebaynya minta ampun, dari komen, naskah, atau narasinya bener bener persuasif banget. udah gak obyektif.
ReplyDeletebukannya informatif tapi malah menyesatkan :(