: Respons atas film Innocent of Muslims
Muhammad adalah “yang terpuji”. Sebanyak apapun cacian tak mungkin sanggup setitikpun mengotori kesuciannya yang terjaga. Allah yang menjaminnya. Allah mencintainya jauh sebelum kita sanggup memahami alfa-beta cinta, miliaran jarak sebelum kita sanggup mengeja alif-ba-ta semesta. Bahkan bukankah semesta mustahil diciptakan Tuhan jika bukan karena Sang Kekasih? “Laula-ka, laula-ka, mâ khalaqtul aflâk. Jika bukan karena engkau, sungguh jika bukan karena engkau, Muhammad, tak akan Aku ciptakan semesta,” kata Allah dalam sebuah hadits qudsi.
Muhammad adalah penghulu semesta. Sebagaimana dinyatakan hadits qudsi yang lain; Jika dunia adalah sebuah rumah, maka Muhammad adalah tuannya, dan para pengikutnya adalah pelayannya. Maka jadilah kita pelayan yang baik, pelayan yang mencerminkan seluruh kebaikan dan kasih-sayang tuannya—tuan terbaik yang menangis siang dan malam untuk kebahagiaan pelayannya: kita semua!
Dialah Muhammad. Meskipun Allah menjamin kemualiaannya, ia senantiasa ingin terlebih dahulu memuliakan ummatnya. Sebagai tuan, Muhammad tidak pernah merendahkan pelayannya. Dialah tuan yang paling mencintai pelayannya, melebihi ia mencintai dirinya sendiri. “Ummatiy, ummatiy, ummatiy,” kata Muhammad di sisa-sisa napas terakhirnya, sebelum ia meninggalkan dunia untuk selama-lamanya, “Ummatku, ummatku, ummatku,” Demikianlah pada sisa-sisa napas penghabisannya, dalam getar yang tertahan, Muhammad masih memanggil kita semua—yang paling ia sayangi...
Sebagai pelayan Muhammad, seluruh tindakan kita semestinya menjadi realisasi dari semua perintah dan larangannya—teladannya. Bila tuan kita begitu kasih sayang pada semua manusia, maka sebagai pelayan, kita juga semestinya bersikap demikian. Seperti di mana-mana, ketika sang tuan telah tiada, semua tugas dan keberadaan sang tuan ditentukan oleh kreativitas pelayannya. Bila sebagai pelayan Muhammad kita menampilkan diri sebagai pemarah dan pendendam, secara otomatis kita sedang mencitrakan tuan kita dalam nilai-nilai negatif itu. Betapa durhaka kita jika menampilkan sifat-sifat buruk yang merusak, sehingga seluruh dunia mengira bahwa Muhammad memang menghendaki dan mengajarkan perangai-perangai buruk seperti yang kita tampilkan itu.
Muhammad adalah cahaya di atas cahaya, nûrun fauqa nûrin. Tak mungkin setitik kegelapan sanggup meredupkan cahayanya. Meskipun sejuta orang, semiliar orang, bahkan bila seluruh dunia bersekutu berusaha meredupkan cahayanya, sesungguhnya mereka hanya akan tersesat dalam cahaya maha cahaya yang sekejap akan membutakan mereka—melemahkan dada dan lutut mereka. Maka berdoalah semoga mereka tenggelam dalam lautan Cahaya Muhammad yang akan membukakan mata kepala dan mata hati mereka semua: Betapa sempurna Muhammad sebagai manusia. Lalu kenangkanlah kelembutan hatinya di Thayf, ketika orang-orang dengan penuh kebencian melemparinya dengan batu, saat Jibril bertanya padanya, “Wahai Kekasih Allah, jika engkau mau, aku bisa membelah langit dan membalikkan bumi untuk membinasakan mereka semua.” Kenanglah jawaban Muhammad yang terluka, “Tidak, Wahai Jibril. Sesungguhnya mereka hanya belum mengetahui.”
Ya, Muhammad adalah lentera dalam hati kita—misbahus-shudur. Kasih sayangnya melintasi ruang dan waktu menyalakan cinta di hati kita semua. Lantas, akankah kita meredupkan cahaya itu dengan kemarahan-kemarahan kita yang merusak? Akankah kita sekali lagi mencoreng wajah Muhammad dengan menampilkan sikap-sikap kita yang reaksioner, kerdil, dan dangkal? Sungguh, di tengah kemarahan kita yang membakar dan menghancurkan apa saja, aku membayangkan wajah Muhammad yang bertanya sendu: Benarkah kalian mencintaiku?
Mereka yang membenci Muhammad telah menyalakan sumbu bagi dinamit kemarahan kita. Sebagai reaksi senyawa cinta dalam dada, kita pantas marah dan harus mengecam kemunculan film yang memfitnah junjunan kita secara keji dan biadab itu. Tetapi kita tak boleh meledak—apalagi meledak-ledak. Ingatlah, sebagai pecinta, Muhammad tidak mengajarkan kita untuk menghancurkan siapapun yang membenci. Kita diajarkan untuk membalas mereka dengan kasih sayang, kita diajarkan untuk menaklukkan mereka dengan keluhuran budi-pekerti. Maka bangunlah untuk kembali terjaga bahwa kita harus senantiasa memancarkan cahaya dan sifat-sifat kemuhammadan dari dalam diri kita—agar seluruh dunia mengetahuinya. Marahlah sebagai pecinta, bukan sebagai pembenci yang hanya akan membuat orang-orang yang ingin melihat “kekerdilan berpikir kita yang emosional” justru bergembira dan menari-nari.
Ingat, risalah agama ini dibawa Muhammad untuk menyempurnakan akhlak—innamâ bu’itstu li utammima makârimal akhlaq, sesungguhnya aku, kata Muhammad, diutus untuk menyempurnakan akhlak. Jika kita mencintai Muhammad, tunjukkan pada dunia bahwa kita memiliki akhlak yang baik. Tunjukkan pada dunia bahwa agama yang mencintai perdamian ini (salâm, Islam), telah sempurna diajarkan Muhammad agar menjadi kasih bagi seluruh semesta. Buatlah para pembenci menangisi kebencian mereka sendiri yang sia-sia!
Penghinaan terhadap Muhammad sudah datang sejak lama, bahkan ketika Muhammad masih ada. Misalnya, pada abad pertengahan, saat mereka yang membenci Muhammad melecehkannya dengan panggilan Mahound (setan) sampai pada kumpulan karikatur sarkastik yang disebarkan oleh media Denmark beberapa tahun silam, Jylland-Posten; Sejak La Divina Commedia karya Dante Alighieri (1265-1321) yang mengatakan bahwa Muhammad hanya pendosa yang pantas berada di neraka kesembilan—yang lebih rendah dari dosa-dosa pembantai dan perampok—hingga The Satanic Verses (1988) karya Salman Rushdie yang menggambarkan Muhammad sebagai seorang pemimpin irasional yang gila seks. Tapi, bukankah penghinaan-penghinaan itu tak pernah sedikitpun melunturkan kemuliaan Muhammad sebagai seorang manusia apalagi sebagai seorang Nabi? Bukankah penghinaan-penghinaan itu tak sedikitpun menggoyahkan iman kita untuk tetap mencintainya?
Lantas, mengapa mereka mereka tak selesai-selesai menghina Muhammad? Mengapa mereka terus berusaha merendahkan Muhammad? Ah, tampaknya ini harus membuat kita benar-benar yakin: Sesungguhnya dalam hati yang paling dalam dan sunyi, para pembenci mengakui kemuliaan dan keluhuran Muhammad—sehingga mereka ingin terus-menerus “merendahkannya”. Kini, mereka mencobanya sekali lagi dengan film Innocent of Muslims (IoM). Ah, rupanya mereka masih merasa perlu “merendahkan” Muhammad, rupanya mereka masih-selalu-dan-terus-menerus “mengakui keluhuran dan kemuliaan” Muhammad.
Setelah menonton film Innocent of Muslims (IoM), saya mematut wajah saya di cermin: “Dialah yang bersalah,” bisik saya. Seketika saya dijerang rasa bersalah luar biasa: “Qum, qum ya habîbiy, kam tanam? An-naumu ‘alal ‘âsyiq, harâm! Bangun, bangunlah kekasih, berapa lama engkau tertidur? Tidur diharamkan bagi para pecinta!” Kalimat itu menyerang saya dari dalam, bertubi-tubi, membuat saya memarahi diri saya sendiri. Dan benar, tampaknya kita memang harus kembali terjaga, diri dan kesadaran kita: Sebagai ummat Muhammad, kita harus selalu mampu mencerminkan sifat-sifat kemuhammadan dalam diri kita.
Demi Tuhan, Muhammad adalah yang terpuji, sejuta cacian tak mungkin setitikpun mengotori kesuciannya yang terjaga! Kami sayang padamu, ya Rasulullah. Kami rindu padamu!
Allahumma shalli ‘alâ sayyidinâ Muhammad wa ‘ala âlihi wa azwâjihi wa ashâbihî ajma’în!
FAHD DJIBRAN | 19/09/2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Saya juga miris melihat saudara2 saya di televisi salah mengartikan cintanya pada Rasul.. semoga ini menjadi pencerahan agar kemarahan itu tidak merusak bangsa dan diri sendiri
ReplyDeleteSejak kapan umat Muhammad = pelayan Muhammad? :O
ReplyDeleteNur Muhammad bukan cahaya di atas cahaya, yang cahaya di atas cahaya itu Nur Allah, bukan Nur Muhammad, Lur.
Misi utama Nabi kita adalah menegakkan kalimat tauhid dengan cara menyempurnakan akhlak manusia. Akhlak yang utama itu adalah amal ma'ruf nahi munkar. Jangan salah menempatkan sikap ma'ruf justru untuk menghadapi yang munkar. Sebab makna dan praktik akhlaqul karimah itu tidak melulu seperti bhiksu2 di film hongkong, Kang.
Rasulullah bukan gak pernah menegakkan kebenaran pakai bahasa pedang. tapi tindakan ini dibenarkan Tuhan dan seluruh semesta. Sebab ada kalanya welas asih itu terpaksa diwujudkan dengan ketegasan.
Jika pesan sublim tulisan ini adalah "Tuhan dan Nabi-Nya tak perlu dibela." <-- maka ini adalah retorika yang cantik, logis, tapi disukai Iblis.
Well, mudah-mudahan bukan ini pesan sublim yang coba disampaikan di sini. Aamiin.
Ya, memang di sini saya juga bukan mau ngajak angkat senjata lalu main tebas sana-sini kok. Sekadar mengajak, jangan sampai umat Muhammad tidak sadar telah berpahamkan filsafat alam dan filsafat moral. Sedangkan agama tauhid ini sama sekali bukan dari filsafat.
Waspadalah terhadap fenomena akhir zaman: yang dikira air sebenarnya api, cermatilah api yang sebenarnya air. Allahua'lam.
@MUXLIMO:
ReplyDeleteMungkin kita berdua berdiri di dua medan tafsir yang berbeda, terlebih soal "nur muhammad". Seperti Anda juga barangkali tahu ia masih menjadi sumber perdebatan yang serius dalam ilmu kalam, di banyak kalangan. Tak soal. Saya bisa memahaminya.
Mungkin saya akan kerepotan kalau perlu merunut pemahaman saya tentang tauhid, Muhammad, dan Islam (sebagai syariat) di sini pada Anda. Pemahaman dan sistem-nilai-keyakinan itulah yang pada akhirnya mengejawantahkan sikap saya seperti terbaca dalam tulisan di atas. Tapi kita bisa berdiskusi secara lebih serius dan bertanggung jawab. Kita bisa buat janji bertemu. Ini alamat e-mail saya: fahdisme@yahoo.co.id
Saya akan sangat senang jika kita bisa mendiskusikan masalah di atas secara lebih mendalam, utuh, dan bertanggung jawab. Tentang hal-hal yang saya keliru, atau belum saya ketahui, tentu saya akan sangat bersenang hati bila bisa mendapatkan yang baik dari Anda.
Salam baik,
Fahd
Allahumma shalli 'alaa Muhammad wa 'alaa aalihii wa ashhaabihii ajmaiin!!
ReplyDeleteTertampar Kang?!?
ReplyDeleteBikin ingat bagaimana sebelumnya juga tertampar membaca Menatap Punggung Muhammad...
semua penistaan kepada Rasulullah yang mulia adalah cambuk bagi kita agar mulai menulis dan terus menulis...ingatlah sumpah ar-Rahman di dalam surah al-Qalam
ReplyDeleteNunn demi pena dan segala yang ditulislannya, Dengan nikmat Tuhanmu engkau wahau Muhmmad tidaklah gila....
Qalam/pena orang-orang cemerlang yang mengasah penanya di bawah naungan cahaya ajaran Muhammad akan membuktikan kemuliaan beliau... mulai dari Abu Hanifah sampai al-Ghazali, Ibnu Sina hingga Miskawaih, Maryam Jamilah hingga Fahd Djibran hehe... Ya Allah masukn aku dalam barisan itu.
saya ndak nonton film ini kang, takut dipenuhi kebencian.
ReplyDeleteya.Allah
ReplyDeleteMarahlah sebagai pecinta bukan sebagai pembenci.... rupanya kemarahan saya selama ini salah, makasih bang. Atau apakah kecintaan saya dan kita pada Muhammad masih patut dipertanyakan?
ReplyDeleteTulisan yang bagus. Dan komentar yang bagus pula dari Muxlimo! Cheers. :)
ReplyDeletesenang membaca tulisan ini karena sejalan dengan apa yang saya pahami. dalam lingkungan saya sendiri seolah saya ini tidak mencintai Rasulullah hanya karena saya tidak mau menghujat orang2 yg menghinakan Muhammad.
ReplyDeleteterima kasih untuk tulisannya yang menguatkan hati :)
apakah yang lebih besar daripada iman ? "KEBAIKAN"
ReplyDelete